Di bulan Ramadhan nan mulia ini terdapat satu malam yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin, yaitu Lailatul Qadar. Melalui tulisan berikut, kami akan menurunkan pembahasan singkat terkait Lailatul Qadr tersebut. Semoga ada manfaat yang dapat dipetik.
Keutamaan Malam Lailatul Qadr dan Kemuliaan Ilmu
Allah Ta’āla berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳﴾ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ān) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [QS. Al-Qadr: 1 – 5]
Cukuplah sebagai keagungan dan kemuliaan Lailatul Qadr bahwa Allah menyebutkan pada malam tersebut al-Qur’ān diturunkan dan malam itu lebih baik dibandingkan seribu bulan.
Coba perhatikan ayat pertama dari surat di atas, lafal kata “al-Qur’ān” tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat, dan sebagai gantinya hanya disebutkan dhamīr (kata ganti) yang menunjukkannya. Pengungkapan (ta’bīr) yang demikian adalah untuk menunjukkan kedekatan, kemuliaan dan ketinggian al-Qur`ān, dan seolah-olah al-Qur`ān tersebut senantiasa hadir dan terpateri di sisi setiap orang, sehingga kekuatan penggunaan kata ganti tersebut setara penyebutannya secara eksplisit, akan tetapi lebih indah dari sisi makna tersirat. WaLlāhu a’lam.
Adapun pendapat sebagian kecil ahli tafsir yang menafsirkan kata ganti tersebut dengan selain al-Qur’ān, yaitu Jibrīl atau selainnya, maka merupakan pendapat yang lemah dan menyelisihi mayoritas ahli tafsir. Bahkan, sebagian ulama mengklaim ijmā` bahwa kata ganti tersebut menunjukkan al-Qur’ān (lihat: Rūhu’l Ma`ānī, vol. XXX, hal. 189)
Pada malam tersebut dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. Allah Ta’āla berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ﴿۳﴾ فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾ أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾ رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿٦﴾
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu diperinci segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Rabbmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Ad-Dukhān: 3 – 6]
Secara etimologis, kata hikmah memiliki akar kata yang sama dengan hukm (hukum), yang makna dasarnya adalah man` (halang). Aturan disebut hukum, karena menghalangi manusia dari berbuat seenaknya. Al-Qur’ān dan Sunnah disebut juga dengan hikmah karena berisi berbagai aturan. Hikmah juga sering diartikan dengan kebijaksanaan (wisdom) dan ilmu yang mendalam, sebab keduanya menghalangi pemiliknya dari tindakan dan hal yang buruk.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu sebab Lailatul Qadr lebih baik dibandingkan seribu bulan adalah karena pada malam tersebut al-Qur`ān diturunkan. Hal ini mengisyaratkan tentang keutamaan ilmu. Sebab, seluruh isi al-Qur’ān adalah ilmu, baik tentang Allah, Malaikat, para Nabi, ketentuan syariat, hal-hal ghaib, maupun tentang ayat-ayat kauniyyah-Nya yang bertebaran di alam semesta, seperti gunung, langit, laut, dan lain-lain. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan dalam muqaddimah Tafsir Al-Azhar bahwa jumlah ayat yang berbicara tentang alam lebih banyak dibandingkan jumlah ayat yang berbicara tentang hukum syariat.
Keutamaan ilmu juga disebutkan dalam banyak hadits Nabi `, salah satunya adalah sabda beliau,
إِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْل الْقَمر لَيْلَة الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya keutamaan ‘ālim (orang yang berilmu) atas ‘ābid (ahli ibadah) adalah sebagaimana keutamaan bulan ketika purnama atas seluruh gemintang.” [HR. Abū Dāwud dalam Sunan-nya II/341/3641, at-Tirmidzi V/48/2682, Ibn Mājah I/81/223, Ahmad V/196/21763, dan lain-lain, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]
Benarlah sabda Nabi `, seribu bintang lebih, bahkan seluruh bintang, tidak akan mampu mengalahkan cahaya bulan purnama. Seperti itulah keutamaan orang yang berilmu atas orang yang tidak berilmu, dan seperti itulah keutamaan Lailatul Qadr yang di dalamnya diturunkan sumber ilmu, yaitu al-Qur’ān, atas lebih dari seribu bulan yang biasa. WaLlāhu’l muwaffiq.
Yang dimaksud dengan turunnya al-Qur’ān pada Lailatul Qadr adalah sebagaimana ditafsirkan oleh Ibn ‘Abbās, yaitu al-Qur’ān secara keseluruhan dan sekaligus turun dari al-Lauhu’l Mahfūzh ke langit dunia, dan barulah kemudian diturunkan secara ayat per ayat kepada Nabi ` sesuai dengan perkembangan peristiwa.
Beda Pendapat Seputar Lailatul Qadr dan Penentuan Waktunya
Terdapat berbagai pendapat mengenai penentuan waktu Lailatul Qadr, bahkan mencapai lebih dari 40 pendapat, sebagaimana dinyatakan oleh al-Hāfizh Ibn Hajar dalam Fathul Bāri [vol. IV, hal. 262]. Imam al-‘Irāqi juga telah mengarang satu risalah khusus berjudul Syarh ash-Shadr bi Dzikr Lailatil Qadr yang menyebutkan perkataan para ulama dalam masalah ini. Pada kesempatan kali ini kami hanya akan membawakan sebagian dari pendapat yang dibawakan oleh Ibn Hajar:
Pertama: Malam Lailatul Qadr telah diangkat/dihapuskan, yaitu hukumnya hanya berlaku pada malam terjadinya hal tersebut dan tidak berlaku lagi sesudahnya. Pendapat ini dinisbatkan kepada Syī’ah Rāfidhah dan sebagian kalangan madzhab Hanafi. Dinukil dari Abū Hurairah bahwa beliau mengingkari pendapat ini.
Kedua: Lailatul Qadr hanya berlaku khusus pada satu tahun tertentu pada zaman Nabi `. Pendapat ini disebutkan oleh al-Fākihāni.
Ketiga: Lailatul Qadr dimungkinkan terjadi pada keseluruhan tahun (tidak hanya di bulan Ramadhān). Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Hanafi.
Keempat: Lailatul Qadr berlaku di bulan Ramadhān dan dimungkinkan berlaku pada malam tertentu dari seluruh malam Ramadhān. Pendapat ini dipegang oleh Ibn ‘Umar, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Abī Syaibah dalam Mushannaf-nya, juga Abū Hanīfah, Ibnu’l Mundzir dan as-Subki.
Kelima: Lailatul Qadr adalah malam pertengahan bulan Ramadhān. Pendapat ini dikutip oleh Sirāju’d Dīn Ibnu’l Mulaqqīn, guru Ibn Hajar.
Keenam: Lailatul Qadr terdapat pada pertengahan akhir bulan Ramadhān. Pendapat ini dikutip dalam Syarh as-Suruji, dari al-Muhīth.
Ketujuh: Lailatul Qadr terdapat pada malam tertentu dari sepuluh pertengahan bulan Ramadhān. Pendapat ini disebutkan oleh an-Nawawi dan ath-Thabari menisbatkannya kepada `Utsmān Ibn Abī’l `Āsh dan al-Hasan al-Bashri serta dipegang oleh sebagian madzhab Syafi`i.
Kedelapan: Lailatul Qadr jatuh pada sepertiga akhir dari Ramadhān dan senantiasa berpindah-pindah setiap tahunnya. Pendapat ini dipegang oleh Abū Qilābah, Mālik, Ishaq, ats-Tsauri dan lain-lain.
Kesembilan: Pendapat-pendapat yang menyebutkan bahwa Lailatul Qadr jatuh pada malam tertentu dari bulan Ramadhān: Malam ke-17: Zaid Ibn Arqam, sebagaimana diriwayatkan Ibn Abī Syaibah dan ath-Thabrāni. Beliau menyatakan bahwa malam tersebut adalah malam diturunkannya al-Qur’ān. Hal senada juga diriwayatkan dari Ibn Mas`ūd. Malam ke-19: `Ali Ibn Abī Thālib, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdu’r Razzāq, dan ath-Thabari juga menisbatkannya kepada Zaid Ibn Tsābit serta Ibn Mas`ūd. Malam ke-23: Mu’āwiyah, Ibn ‘Abbās, Sa’īd Ibnu’l Musayyib dan lain-lain. Malam ke-27: Pendapat Imam Ahmad dan satu riwayat dari Abū Hanīfah, Abū Hurairah, ‘Umar, Hudzaifah dan lain-lain. Bahkan Ubay Ibn Ka’b sampai bersumpah untuk itu.
Pendapat paling terakhir juga dipegang oleh Syaikh al-Albāni [lihat mis: Qiyām Ramadhān, hal. 12]. Mungkin hal ini juga didasarkan dari pengamatan beliau selama bertahun-tahun. Sependek pengalaman kami, maka kami juga memiliki kecenderungan untuk sependapat dengan beliau. Syaikh as-Sayyid Sābiq juga mengatakan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa penentuan Lailatul Qadr jatuh pada malam ke-27. Kemudian beliau membawakan riwayat yang menguatkan hal tersebut. [Fiqh as-Sunnah vol. I, hal. 595]
Dalam menentukan malam ke-27, ada juga yang berdalil sebagai berikut: kata Lailatul Qadr terdiri dari 9 huruf dan diulang sebanyak 3 kali dalam surat al-Qadr, sehingga totalnya berjumlah 27 [Fathu’l Bārī, vol. IV, hal. 265]. Tentu semua ini tidak terjadi secara kebetulan, namun apakah benar hal tersebut mengisyaratkan penentuan waktu Lailatul Qadr di bulan Ramadhān? WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Masih banyak pendapat lain di kalangan ulama terkait hal ini, juga argumen dan dalil mereka, yang tidak kami sebutkan di sini. Barangsiapa yang menginginkan keluasan dalam masalah ini hendaklah merujuk kepada Fathu’l Bārī.
Namun, berikut akan kami sebutkan sejumlah dalil terkait permasalahan yang tengah dibahas ini, sebelum kami sebutkan kesimpulan dan pendapat kami.
Dari ‘Āisyah, bahwa Nabi ` bersabda:
تَحَرّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah malam Lailatul Qadr di malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” [HR. Al-Bukhāri II/710/1913 dan Muslim II/828/1169]
Dari Ibn ‘Umar, Nabi ` bersabda: “Carilah Lailatul Qadr pada tujuh hari terakhir.” [HR. Al-Bukhāri VI/2565/6590 dan Muslim II/822/1165]
Dari Ibn ‘Umar, Nabi ` bersabda:
مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيْهَا فَلْيَتَحَرِّهَا لَيْلَةَ سَبْع وَعِشْرِيْن
“Barangsiapa yang mencari malam Lailatul Qadr maka hendaklah ia mencari pada malam kedua puluh tujuh.” [HR. Ahmad II/27/4808, dengan sanad yang shahih]
Dari Sahabat Ubay Ibn Ka’b, beliau berkata,
وَوَالله إِنِّي لأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ، هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللّهِ بِقِيَامِهَا. هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا
“Demi Allah, sesungguhnya aku benar-benar mengetahui Lailatul Qadr. Ia adalah malam di mana Rasulullah ` memerintahkan kami untuk melakukan shalat padanya, yaitu malam ke-27. Tandanya adalah pada pagi harinya matahari tampak berwarna putih dengan pancaran sinar yang tidak menyengat.” [HR. Muslim I/525/762, dan lain-lain]
Kesimpulan dan pendapat kami, apabila seseorang ingin mencari malam Lailatul Qadr, maka hendaklah ia mencarinya di malam ganjil pada sepuluh hari terakhir. Jika tidak mampu, maka hendaklah ia mencari di malam ganjil pada tujuh hari terakhir. Dan, jangan sampai yang bersangkutan melewatkan malam ke-27, sebab malam tersebut adalah malam yang paling diharap sebagai Lailatul Qadr. WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Memanfaatkan Lailatul Qadr
Rasulullah ` bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَاناً وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari II/709/1910 dan Muslim I/523/760)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, beliau berkata : “Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah `, menurut Baginda, sekiranya aku mengetahui kapan malam Lailatul Qadr terjadi, apa yang harus aku ucapkan?” Beliau menjawab,
اللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Allāhumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annī. (Ya Allah, Engkaulah Sang Maha Pemaaf dan mencintai orang yang meminta maaf, maka maafkanlah aku).” [HR. At-Tirmidzi V/534/3513, Ibn Mājah II/1265/3850, dan lain-lain, dengan sanad yang shahih]
Dari Aisyah, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرَ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Adalah Rasulullah ` apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi istri-istrinya dan bersungguh-sungguh beribadah dalam rangka mencari Lailatul Qadr), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.” [HR. Al-Bukhari II/171/1920 dan Muslim II/832/1174]
Juga dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Adalah Rasulullah ` bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya.” [HR. Muslim II/832/1174]
Tanda-Tanda Lailatul Qadr
Dari Ubay, Rasulullah ` bersabda,
وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا
“Tanda Lailatul Qadr pagi harinya matahari tampak putih dengan sinar yang tidak menyengat.” [HR. Muslim I/525/762]
Dari Ibn ‘Abbas, Nabi ` berkata:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَّةَ وَلاَ بَارِدَةَ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيْحَتَهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
“(Malam) Lailatul Qadr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah dan kemerah-merahan.” [HR. Ath-Thayālisi no. 2680, Ibnu Khuzaimah III/331, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman III/334/3693, dengan sanad yang valid]
Demikian, semoga ada manfaatnya. WaLlāhu a’lam bish shawāb.
Saya request tulisan tentang umur ‘Aisyah ketika menikah dong. Saya sudah sedikit mencari, ketemu tulisan Ibnu Katsir bahwa ulama telah ijma’ bahwa nabi menikahi ‘Aisyah ketika berumur 6 tahun, kemudian berumah tangga di umur 9 tahun. maaf kalo merepotkan. jazakumullah khairon (edited by admin)
Akh, saya belum bisa menyusun pembahasan yg komprehensif (bahts muhaqqaq) tentang apa yg Antum tanyakan. Tapi di bawah ini akan saya posting sebuah tulisan terkait hal dimaksud. Meskipun saya pribadi belum sependapat dg tulisan tersebut, karena menyelisihi apa yang valid dari Nabi SAW tentang pernikahan beliau dengan ‘Aisyah dalam Kutub ash-Shihah, al-Masanid, as-Sunan, dan lain-lain. Namun, kiranya dapat dijadikan sebagai bahan dalam studi komparatif. Meskipun belum sepakat, saya husnuzh zhann terhadap penulis bahwa in sya-aLlah ia berniat baik dan bertujuan untuk membela Islam melalui tulisannya. Hanya saja, apabila hal tersebut berimplikasi terhadap penolakan hadits-hadits yang shahih, maka jelas akan menimbulkan ‘bencana’ baru yang tidak dapat dianggap remeh.
Berikut ini adalah tulisan saya maksud: (saya kutip apa adanya, tanpa editing maupun perubahan)
Pernikahan Nabi Muhammad dengan Siti Aisyah
Seorang teman kristen suatu kali bertanya ke saya, ” Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam. Dia melanjutkan, ” Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya,” Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya. Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, Orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.
Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.
Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah thd orang tua dan suami tua tersebut.
Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam oraganisasi- oraganisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.
Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya thd Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya.
Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyanm ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.
BUKTI #1: PENGUJIAN THD SUMBER
Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya,Yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, dimana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.
Tehzibu’l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ” Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq ” (Tehzi’bu’l- tehzi’b, Ibn Hajar Al-`asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ” Saya pernah dikasih tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tehzi’b u’l-tehzi’b, IbnHajar Al- `asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu’l-ai` tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu’l-ai` tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’ l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindha ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliya (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama AbuBakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah
BUKTI #2: MEMINANG
Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.
Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya ” (Tarikhu’l-umam wa’l-mamlu’k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).
Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.
BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah ” (Al-isabah fi tamyizi’l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l- Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978) .
Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.
BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d: “Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`la’ma’l-nubala’ , Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’ l-risalah, Beirut, 1992).
Menurut Ibn Kathir: “Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: “Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa’l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 or 74 H.” (Taqribu’l-tehzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah berselisuh usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).
Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.
Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda’l-Rahman ibn abi zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?
kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.
BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab karahiyati’l- isti`anah fi’l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama` a’lrijal) : “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”
Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud and Badr.
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’ b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 years akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perangm, dan (b) Aisyah ikut dalam perang badar dan Uhud
KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih
suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karean itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
BUKTI #7: Terminologi bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepada nya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yangmasih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karean itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p. .210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karean itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
BUKTI #8. Text Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat , yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid doaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri. Ayat tsb mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk
(a) memberi makan mereka,
(b) memberi pakaian,
(c) mendidik mereka, dan
(d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini, ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karean itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa AbuBakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,” berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
AbuBakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua, Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karean itu menentang hukum-hukum Quran.
Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, Cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.
Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan bahwa AbuBakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.
Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karean itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.
SUMMARY:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernha keberatan dengan pernikahan seperti ini, karean ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk
menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karean adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.
Posted by Hamba
sumber :
The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas , di Michigan.
© 2001 Minaret
from The Minaret Source: http://www.iiie. net/
Saya menunggu bahasan Antum tentang umur ‘Aisyah ini ustadz.