Ada sebagian rekan yang dalam beberapa kesempatan menyebut saya sebagai “Ustadz Salafi“. Penyebutan ini sejatinya menimbulkan persoalan yang cukup dilematis, sehingga saya merasa kurang nyaman dengan penyebutan tersebut. Hal ini tentu bukan karena saya menolak prinsip: “memahami al-Qur’ān dan Sunnah dengan tidak menyimpang dari metodologi (manhaj) Salaf yang shalih”. Bahkan, saya sangat meyakini kebenaran prinsip yang dibangun di atas dalil-dalil yang sangat banyak jumlahnya tersebut (yang rasanya tidak perlu saya sebutkan di sini, karena sudah diketahui bersama).
Secara terminologis, siapapun yang menjalankan prinsip di atas, yakni: siapapun yang ber-Islam dengan tidak menyimpang dari konsensus (ijmā`) dan metodologi (manhaj) Salaf maka ia adalah Salafi. Pada perspektif terminologis ini, maka saya berharap dan berusaha termasuk ke dalam jajaran Salafi. Bahkan, tidak ada pilihan lain bagi siapapun—tanpa terkecuali—untuk menjadi seorang Muslim yang benar kecuali dengan menjadi Salafi. Demikianlah sekiranya mengacu pada definisi terminologis Salafi belaka. Pada tataran ini, mungkin dapat dikatakan bahwa mayoritas kaum Muslim secara umum menerima salafisme—terlepas sejauh mana realisasi mereka terhadap hal itu. Buktinya adalah kecintaan dan penghormatan mereka kepada kaum Salaf yang shalih sebagai generasi terbaik umat Islam yang patut diteladani.
Lantas, mengapa saya kurang nyaman dan berkeberatan untuk disebut sebagai “Ustadz Salafi”? Hal ini disebabkan alasan-alasan berikut:
Alasan pertama, saya merasa belum pantas menyandang gelar “ustadz”. Penyebutan itu rasanya menjadi beban berat untuk dipikul. Secara terminologis akademisi, ustadz berarti profesor. Dalam pengertian yang lebih general, ustadz artinya adalah guru. Kedua pengertian tersebut—baik yang sempit maupun luas—tidak tepat untuk ditujukan kepada saya. Saya bukan profesor, dan juga bukan guru. Saya bahkan hanyalah seorang pembelajar pemula pada berbagai guru kehidupan.
Alasan kedua, penyebutan “ustadz” tersebut ditambahi dengan kata “salafi” di ujungnya. Hal ini menambah lagi beban sebelumnya. Penyebutan “Ustadz Salafi” dalam benak banyak kalangan menimbulkan kesan ustadz yang shalih secara eksoterik dengan penampilan religius: celana di atas mata kaki, jenggot minimal segenggaman tangan dan berbagai ciri religius secara lahir lainnya, di samping pada umumnya memiliki kompetensi ilmiah yang memadai khususnya dalam bidang hadits dan atsar. Nah, adapun saya, di samping tingkat keilmuan saya yang masih rendah, ciri-ciri religius secara lahir sebagaimana di atas pun tidak melekat dalam diri saya.
Konotasi istilah salafi dalam gambaran sebagian besar masyarakat mengalami deviasi dan penyempitan dibandingkan definisi terminologisnya—bahkan hal ini juga terjadi pada persepsi kalangan internal orang-orang yang mengklaim sebagai Salafi itu sendiri. Terjadi gap yang cukup besar antara das sein (realitas faktual) dan das sollen. Kata salafi mengindikasikan suatu jamaah/kelompok/individu dengan ciri-ciri dan parameter yang lebih spesifik, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, ditambah lagi dengan sikap intoleran, puritan, revivalis, meremehkan pihak lain, mudah membid`ahkan, mudah memvonis sesat pihak lain, anti islamisasi ilmu pengetahuan, konservatif, dan lain-lain. Ini adalah realitas persepsi sebagian besar masyarakat terhadap istilah salafi yang sulit dipungkiri. Secara jujur pun seharusnya diakui bahwa salah satu penyebab utama hal tersebut adalah praktik-praktik yang kebablasan dari sebagian kalangan yang mengaku Salafi itu sendiri. Memang ada dari kalangan internal yang bersikap objektif dan melakukan purifikasi Salafi sebagaimana definisi terminologisnya, namun dapat dikatakan jumlahnya tidak dominan.
Permasalahan menjadi more complicated, karena terdapat berbagai komunitas yang mengklaim sebagai Salafi namun ternyata satu sama lain saling baku hantam dan saling memberikan gelar yang melecehkan, semisal “Surūri“, “Turātsi“, “Hizbi“, “Haddādi“, “Quthbi” dan lain-lain. Dengan gelar-gelar tersebut, komunitas yang satu memvonis komunitas yang lain sebagai salaf i (salafi imitasi), Salafi yang menyimpang, bukan Salafi yang benar. Masing-masing merasa memiliki otoritas untuk mengeluarkan pihak lain dari jajaran Salafi, kemudian mengeluarkan berbagai macam argumen untuk menguatkan pendapatnya (baca: vonisnya) tersebut. Kalangan internal yang bersikap objektif dan berusaha melakukan perbaikan (ishlāh) serta purifikasi Salafi sebagaimana definisi terminologisnya pun pada umumnya dimusuhi dan divonis menyimpang.
Saya tidak sedang mengingkari implementasi prinsip nahy munkar, jarh wa ta`dīl, atau vonis yang sesuai porsi dan tempatnya, di mana dengan hal tersebut otentisitas ajaran Islam menjadi terjaga. Namun, pada kenyataannya, di kalangan sebagian Salafi, hal-hal tersebut tidak jarang digunakan secara kebablasan, serampangan dan over dosis, sehingga bukannya mengobati tapi malah meracuni.
Dari paparan di atas tampak bahwa tindakan mengeluarkan orang lain dari kancah ‘persalafian’ merupakan hal yang lumrah terjadi, bahkan di kalangan internal para pengklaim Salafi itu sendiri. Karena itu, jika ada yang menyatakan saya sebagai Salafi maka kemungkinan akan muncul orang-orang yang tidak menyetujuinya. Memang seharusnya saya tidak perlu merisaukan hal ini, karena tidak layak kiranya keridhaan manusia dijadikan acuan dan tujuan. Saya pernah berkata kepada seorang kawan, “Saya menjadi Salafi (mengikuti kajian salafi) itu bukan karena siapa-siapa, namun karena mencari kebenaran. Karena itu, jika sekarang ada yang mengeluarkan saya dari salafi karena memegang apa yang saya yakini sebagai kebenaran, maka tidak jadi masalah. Jika ada pihak tertentu yang merasa memiliki ‘perusahaan salafi’ dan kemudian merasa punya otoritas untuk mengeluarkan saya maka itu adalah urusannya.” Dan, memang pada kenyataannya saya tidak menisbatkan diri atau berafiliasi (intimā’) kepada suatu kelompok pun, tidak kepada IM (al-Ikhwān al-Muslimūn), tidak kepada HT (Hizb at-Tahrīr), tidak kepada JT (Jamā`ah at-Tablīgh), dan tidak pula kepada kelompok Salafi (dalam pengertian sempit sebagaimana paparan di atas). Saya meyakini kewajiban ber-Islam dengan tidak menyelisihi konsensus Salaf. Namun untuk berafiliasi dan loyal kepada yang disebut sebagai Salafi pada zaman ini, maka kedua perkara tersebut merupakan dua hal yang berbeda, menurut pandangan saya.
Sampai saat ini saya memegang dan meyakini sepenuhnya kebenaran ucapan Syaikh Ibn `Utsaimīn, sebagaimana yang pernah saya kutip pada tulisan sebelumnya:
إذا كثرت الأحزاب في الأمة فلا تنتم إلى حزب، فقد ظهرت طوائف من قديم الزمان مثل الخوارج والمعتزلة والجهمية والرافضة، ثم ظهرت أخيراً إخوانيون وسلفيون وتبليغيون وما أشبه ذلك، فكل هذه الفرق اجعلها على اليسار وعليك بالإمام وهو ما أرشد إليه النبي – صلى الله عليه وسلم – في قوله: [عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين].
ولا شك أن الواجب على جميع المسلمين أن يكون مذهبهم مذهب السلف لا الانتماء إلى حزب معين يسمى السلفيين.
والواجب أن تكون الأمة الإسلامية مذهبها مذهب السلف الصالح لا التحزب إلى ما يسمى (السلفيون) فهناك طريق السلف وهناك حزب يسمى (السلفيون) والمطلوب اتباع السلف.
“Jika kelompok-kelompok (ahzāb) dalam tubuh umat Islam menjadi banyak jumlahnya, maka janganlah engkau berafiliasi (intimā’) kepada suatu kelompok pun. Pada zaman dahulu juga sudah terdapat berbagai macam kelompok, semisal Khawārij, Mu`tazilah, Jahmiyyah dan Rāfidhah. Kemudian akhir-akhir ini muncul (kelompok) yang disebut Ikhwāniyyūn (Ikhwāni), Salafiyyūn (Salafi), Tablīghiyyūn (Tablīghi) dan yang semisalnya.
“Jadikanlah seluruh kelompok tersebut berada pada sisi kiri, dan menjadi keharusan bagimu untuk mengikuti imām, yakni apa-apa yang ditunjukkan oleh Nabi—shallā’Llāhu `alaihi wa sallam—melalui sabda beliau,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
“Menjadi keharusan bagi kalian untuk berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk.”
“Tidak diragukan bahwa merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin untuk bermadzhab dengan madzhab Salaf, dan bukan berafiliasi (intimā’) kepada kelompok (hizb) tertentu yang disebut Salafiyyīn (Salafi). (Sekali lagi ditegaskan) bahwa menjadi kewajiban umat Islam untuk bermadzhab dengan madzhab Salaf yang shalih, dan bukan sikap sektarianisme (tahazzub) kepada apa yang dinamakan Salafiyyūn (Salafi). Sebab, di sana ada jalan Salaf dan di sana ada pula kelompok (hizb) yang bernama Salafiyyūn (Salafi). Dan yang dituntut (atas diri seorang muslim) adalah mengikuti/meneladani jalan Salaf.” [Sekian kutipan dari beliau dalam Syarh al-Arba`īn an-Nawawiyyah, penjelasan hadits ke-28.]
Saya dapat dikatakan mulai aktif mengikuti pengajian salafi pada tahun 1998, yaitu ketika awal-awal kuliah di IPB. Rentang waktu yang bisa dikatakan tidak singkat. Sikap saya di masa awal-awal aktif mengikuti pengajian adalah intoleran terhadap perbedaan pendapat (dalam perkara yang masih memungkinkan perbedaan di dalamnya) dan mudah memvonis orang lain. Mungkin karena ghīrah (semangat) yang tinggi tanpa dibarengi kebijaksanaan dan wawasan yang mumpuni. Sikap serupa juga banyak didapati pada sejumlah kalangan yang mengklaim sebagai Salafi. Sikap yang pada saat ini ingin saya tinggalkan, seiring pertambahan umur, interaksi dan penelaahan saya terhadap berbagai macam literatur keislaman, dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda.
Masalahnya memang cukup dilematis. Jika saya menolak disebut Salafi, maka oleh sebagian kalangan bisa jadi saya dinilai menolak madzhab Salaf—padahal tentu ini sama sekali bukanlah yang saya maksud. Namun jika penyebutan tersebut diterima—baik secara sukarela maupun terpaksa—maka dalam benak masyarakat pada umumnya, bahkan di kalangan internal sebagian Salafi itu sendiri, konotasinya adalah Salafi dengan pemaknaan sempit yang menunjuk kelompok tertentu.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa penisbatan merupakan keharusan dalam hal identifikasi. Mau tidak mau pasti terjadi. Terkait hal ini, kalau saya boleh memilih untuk diri saya, maka saya lebih menyukai sebutan yang terasa lebih netral dibandingkan Salafi, yaitu Ahlu’s Sunnah (Sunni). Meski sebagaimana dinyatakan oleh ulama, bahwa tidak ada perbedaan substansial antara Ahlu’s Sunnah dan Salafi, bahkan pada hakekatnya keduanya merupakan sinonim, ditinjau dari sisi hakikat pemaknaan terminologis, namun secara konotasi memberi kesan yang berbeda. Ahlu’s Sunnah terasa lebih umum dibanding Salafi dalam persepsi kebanyakan masyarakat, bahkan menurut persepsi sebagian Salafi itu sendiri.
Mungkin ada yang berkata, “Menggunakan sebutan Ahlu’s Sunnah hanyalah menyisakan pertanyaan lanjutan: Ahlu’s Sunnah yang mana? Bukankah banyak sekali kelompok yang mengaku sebagai Ahlu’s Sunnah?”
Pertanyaan semacam ini justru menguatkan tesis bahwa konotasi Salafi memang mengalami penyempitan makna. Sebab seharusnya Ahlu’s Sunnah dan Salafi merupakan dua hal yang benar-benar sama. Di samping itu, taruhlah benar bahwa yang ideal adalah penisbatan diri sebagai Salafi, toh tetap saja masih menyisakan pertanyaan lanjutan: “Salafi yang mana?” Sebab, pada kenyataannya berbagai kelompok yang mengklaim sebagai Salafi saling vonis dan menyalahkan satu sama lain.
Pada akhirnya, toh yang paling urgen serta kruisal adalah kenyataan dan bukan pengakuan. Tidak ada gunanya seseorang mengaku sebagai orang baik, misalnya, kalau kenyataannya ia bukan orang yang baik. Tidak ada gunanya orang mengaku sebagai dermawan, apabila ia ternyata orang yang kikir. Tidak penting pengakuan sebagai orang baik atau dermawan, yang paling penting adalah kebaikan atau kedermawanan itu sendiri. Begitu pula dalam hal ini, tidak ada gunanya mengaku Salafi apabila ternyata yang bersangkutan justru menyelisihi manhaj Salaf. Seorang penyair berkata:
وَكُلٌّ يَدَّعِيْ وَصْلاً بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لاَ تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاك
Dan tiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Sementara Laila tidak mengakuinya
Dalam hal ini ada kaidah yang berbunyi:
الْعِبْرَة بِالْحَقَائِق وَالْمَعَانِي لاَ بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي
“Yang menjadi patokan itu adalah hakikat serta makna (values), dan bukan lafal atau bentuk.”
Dengan demikian, yang penting itu bukanlah klaim penisbatan diri sebagai Salafi, namun yang penting itu adalah bagaimana seorang Muslim itu meneladani dan tidak menyimpang dari metodologi (manhaj) Salaf yang shalih.
Saya tutup pembahasan ini dengan doa iftitāh yang ma’tsūr dari Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam:
اللّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيْمَا كَانُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِيْ مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْم
“Ya Allāh, Rabb Jibrā’īl, Mīkā’īl dan Isrāfīl, Pencipta langit dan bumi, yang Maha Mengetahui apa yang tampak dan tersembunyi, Engkau menghukumi di antara para hamba-Mu terhadap apa yang mereka perselisihkan. Berikanlah petunjuk kepadaku atas hal-hal yang diperselisihkan dari kebenaran. Sesungguhnya Engkau menunjuki siapapun yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.” [Riwayat Muslim, Abū Dāwūd, at-Tirmidzi, Ibn Mājah dan lain-lain.]
Wa`Llāhu a`lam bish shawāb….
Jakarta, April 2008
Adni Abū Fāris an-Nūri
Saya gak komentar yang susah-susah ah..
Ustadz selain dalam artian termin dan general diatas masih ada artian bebas yang lain kok :)Sebagaimana kadang dalam keakraban,kita sering menggunakan panggilan “Bos”, padahal kita cuma status kuli/pesuruh disebuah perusahaan heheh.Mungkin ada rasa yang kurang sreg dalam beberapa situasi jika menyebut nama langsung..Jadi (walaupun katakanlah salah) tapi tak salah-salah amat lah 🙂 ,misalnya klo saya panggil antum dengan Pak Bos atau Pak Ustad, dst..apalagi orang yang latar pendidikannya memang agama.Di Mushola kantor saya, kadang setiap yang sudah dikenal sbg jamaah dipanggil akrab dengan ungkapan keakraban, “Pak ustadz ,begimana kabarnya’ dan yang semisal..Hihihihi
assalamu ‘alaikum akhi…
ane minta izin ni, mo copy paste tulisan antum di blog ane ya…
jakalallah
akhukum
ispir (batam)
Assalamu ‘alaikum wr.wb.
Tulisannya bagus.
Salam kenal ya ….
wassalam
Bismillah
Postingan yg menarik..
Perlu diakui bhw sebagian kita -termasuk saya pribadi- di awal2 mengenal manhaj salaf kadang bersikap keras (kasar) dlm dakwah dan muamalah. Itu sptnya bawaan dr karakter dasar dan kebiasaan sbelum mengenal manhaj salaf. Alhamdulillah seiring bertambahnya ilmu maka kebanyakan berubah menjadi lebih hikmah.
Yg pasti, hal2 semacam itu bukan menjadi acuan utk enggan mengikuti manhaj salaf. Kemudian juga jgn sampai stigma negatif ttg salafi menjadikan kita enggan menyebut diri kita salafi karena tidak ada aib sedikitpun bg orang yg meyebut dirinya salafi (tp dg pembuktian tentu saja..) Sebaiknya kita jgn sampai terkena (bahkan melemparkan) syubhat bhw dg meyebut diri kita salafi berarti kita mempersempit makna yg tertuju ke suatu kelompok tertentu. Toh Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam jg menyatakan bahwa ahlussunnah/ salafiyyun sebagai sebuah kelompok yg selamat/ ditolong.
Menyatakan diri salafi -walau tidak ada kewajiban memakai istilah tsb- paling tidak menunjukkan pengakuan kita akan kebenaran manhaj salaf. Dan akan lebih memacu seseorang yg menggunakannya untuk membuktian pengakuannya.
Orang2 yg bersikap hikmah -spt Anda, InsyaAllah- justru lebih berhak mengaku salafi sehingga orang awam akan tahu bhw begitulah sebenarnya salafi itu. Tentunya Anda ingin agar tdk ada lg stigma negatif ttg salafi beredar di masyarakat bukan?
Mari kita bersama-sama menolong agama Allah dg mendakwahkan manhaj salafi kpd manusia -seluruhnya-.
Syukran..
assalamu’alaikum
salam kenal
subhanallah….
bagus… bagus…. tulisannya
minta izin untuk di save as …
oh, ya afwan, apakah antum tahu ttg atsar yg menyebutkan bahwa seorang ulama menyebut dirinya sendiri sebagai salafy, misal “Ana salafy”.
Setahu saya -yg tdk mendalami agama- yg ada adalah nukilan seorang ulama mengomentari ulama lain: “Huwa salafy”, “Fulan salafy”. Tapi, saya belum menemukan mereka yang mengatakan, “Ana salafy”
syukron
wassalamu’alaikum warahmatullah wabarkatuh
Assalamualaykum..
“jika seandainya” skali lg jika seandainya kata “ahlussunnah” atau “sunny” mngalami pnyempitan mkna sbagaimana kata “salafi”, lntas kpada siapakah antum brnisbat?
Tolonglah..jgn hny krn bbrapa oknum salafi, antum akhrnya mnjadikan makna salafi mnjdi “lbih sempit” lagi.
Barakallahu fiik
Assalamualaykum ya akhy.., (sbuah pngakuan) ana mohon maaf sbelumnya atas kesalahpahaman ini. Sblmnya ana dulu saat membaca tulisan di atas mnganggapnya sbg syubhat. Alhamdulillah Allah Ta’ala memberikan ptnjuk pd ana. Stelah membaca postingan antum lg, akhirnya baru sadar trnyata apa yg ana sangka thdp antum itu salah. Ana mohon maaf atas buruk sangka ini.
Dan memang benar, bahwa kita memakai kata salafi itu sbg penisbatan, bukan hnya pngakuan. ana sndiri sdh mulai sadar akan sisi kbenaran pd postingan antum ini. barakallahu fiik. smoga kita bs dpertemukan Allah di dunia ini…
assalaamu’alaykum wa rahmatullaah wa barakaatuh.
barakallaahu fiik ya akhi..
Memang benar, perilaku sebagian oknum yang menisbatkan diri kepada manhaj salaf dan menyebut diri sebagai salafy adalah sebuah hal yang patut disesalkan.
Namun, bersikap kurang suka jika dipanggil atau menyebut diri sebagai salafy sementara selama ini telah berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani manhaj salaf adalah sesuatu yang patut untuk dikoreksi. Sebagaimana yang telah kita ketahui banyak perkataan ‘ulama tentang hal ini (dan di antaranya telah anta kutip pada beberapa tulisan, walhamdulillah). Dengan syarat, selama benar komitmen terhadap manhaj salaf (meski tidak dapat dipungkiri selalu saja ada celah kelemahan di dalamnya)
Teringat oleh saya perdebatan Syaikh al-Albani denagn seorang penulis mengenai penisbatan diri dan penamaan dengan salafy.
barakallaahu fiik ya akhi…
salam kenal dari saudaramu…
assalamu’alaykum jadi bgmn Ust sbnrnya hukum mencantumkan lafadz salafi atau atsari di belakang nama seseorang?soalnya dlm beberapa ktb ana lht syaikh Ali hasan ada terdpt lafadz tsb.tambahan lagi byk ulama yg mencantumkan lafadz dari madzhab yg mrk ikuti misal syafi’i,hanafi dll atau nisbat pd pekerjaan, daerah asal, misal dzahabi ,bukhori,mohon penjelasan jazakallohu khoyron.
Assalamu’alaikum,
Afwan,untuk akhi uncal sepertinya penisbatan nama salafi terlalu dipaksakan jika tidak dikatakan bid’ah.Menurut ane kenapa kita cukupkan diri dengan nama muslim saja sesuai tuntunan Al-Qur’an.
Sekalian koreksi lagi untuk akhi uncal,seperti kebanyakan ikhwan memulai sms,komentar,ataupun email dengan bismillah,ada apa ini…?
Bukankah sudah diajarkan didalam islam,jika menyapa saudara seiman adalah dengan ucapan salam,lagi-lagi karena ikut-ikutan dalam menghindari singkatan tapi malah terjebak pada menghindari yg jelas2 sunnah,pun kalo tidak mau disebut bid’ah.
Ayolah saudaraku,jangan terus-terusan taklid buta terhadap ustadz ataupun ikhwan lain tanpa mengkritisi suatu permasalahan.Wallahua’lam.
Pingback: Ustadz Salafi? « Manhaj Salaf Hanya Satu..!
Sekali lagi…membuka mata dan hati saya..
Namun, harapan saya .. semoga orang-orang yang hasad dan dengki terhadap dakwah tauhid dan sunnah tidak menjadikan artikel ini sebagai senjata mereka memerangi dakwah penuh barokah ini.
Assalamu’alaikum,
Afwan, buat akhi Abu Hanif, Memulai Tulisan/Surat/risalah dengan bismillah -sependek pengetahuan ana- tidaklah dikatakan bid’ah atau sekedar taklid akhi. Coba antum buka kitab kitab para Ulama, anda akan menemukan banyak yang memulai dengan bismillah. Seperti dalam Syarah Ushul Tsalatsah dijelaskan mengapa ulama memulai tulisan-nya dengan bismillah. Bahkan Surat surat Rosululloh-pun dimulai dengan bismillah. Dan antum-pun mengatakan penisbatan nama salafi adalah terlalu dipaksakan atau bisa dikatakan bid’ah. Ana harap anda mau baca kitab Limadza Ikhtartu al Manhaj as Salafy karya Syaikh Salim, atau Kun Salafiyah Jaddah. Wallahu A’lam.
Maaf ustadz.. jadi menurut ustadz, saudara2 kt yg aktif dlm pergerakan spt IM, HT, JT dlsbnya.. apakah mereka jg salafi ? bisakah kita jadi seorang salafi dan pada saat yg sama aktif dlm pergerakan2 tsb ?
mohon pencerahannya
jazakallaahu khair
ustadz, afwan. sy orang awam,jd nggak bisa baca tulisan arab. boleh diberitahukan secara garis besar isi dr article tsb.. ?
jazakallaahukhair
Alhamdulillah, sebenarnya ana memang sedang mencari artikel sebegini kerna terdapat banyak sebutan “ustadz salafi” disana sini. Contohnya, sering ana dengar orang berbicara “adakah yang mengajar itu ustadz salafi?” Yang lebih membingungkan ada ustadz yang mengkelaim dirinya sebagai ustadz salafi tetapi apa yang disampaikan banyak bertentangan dengan manhaj salaf. Izinkan ana untuk mencopynya dan didistribusi kpd teman2 ana yang lain. Jazakallah khyr……