Kedermawanan dalam Menjawab dan Menyampaikan Ilmu

Al-‘Allamah Ibn al-Qayyim —rahimahullah— menyebutkan bahwa di antara bentuk kedermawanan adalah dengan memberikan ilmu. Lalu beliau menjelaskan,

ومن الجود بالعلم أن السائل إذا سألك عن مسألة استقصيت له جوابها جوابا شافيا لا يكون جوابك له بقدر ما تدفع به الضرورة كما كان بعضهم يكتب في جواب الفتيا نعم أو لا مقتصرا عليها

ولقد شاهدت من شيخ الإسلام ابن تيمية قدس الله روحه في ذلك أمرا عجيبا كان إذا سئل عن مسألة حكمية ذكر في جوابها مذاهب الأئمة الأربعة إذا قدر ومأخذ الخلاف وترجيح القول الراجح وذكر متعلقات المسألة التي ربما تكون أنفع للسائل من مسألته فيكون فرحه بتلك المتعلقات واللوازم أعظم من فرحه بمسألته وهذه فتاويه رحمه الله بين الناس فمن أحب الوقوف عليها رأى ذلك

“Termasuk dalam hal kedermawanan dalam hal keilmuan: jika seseorang bertanya kepadamu tentang suatu masalah maka engkau memberikan jawaban secara komplit dan komprehensif. Bukan dengan menjawab sekadarnya untuk menggugurkan pertanyaan, seperti halnya ada sebagian orang yang menjawab fatwa dengan (satu kata) ‘Iya.’”

Continue reading

Logika Tawassul (Revisi)

Penulis pernah mendapati logika yang dikemukakan oleh orang-orang yang menganjurkan tawassul dengan orang-orang yang sudah wafat—yang zahirnya adalah orang shalih—di makam mereka, sebagai berikut: Seseorang yang hendak menemui dan meminta kepada raja maka ia harus melalui perantaraan sekretarisnya, bawahannya, atau orang yang dekat dengan raja terlebih dahulu, maka begitu pula orang yang hendak menghadap dan meminta kepada Allah, Sang Maha Raja, maka ia menggunakan perantaraan (ber-tawassul) dengan orang-orang yang dekat dengan Allah, yaitu orang-orang shalih atau para wali, di makam mereka.

Ini adalah logika, silogisme dan analogi yang sangat fatal kekeliruannya (qiyās fāsidu’l i`tibār wa ma`a’l fāriq). Sebab, tentu tidak sama antara raja dunia dengan Allah, Sang Maha Raja. Raja dunia banyak memiliki kelemahan. Ia dapat dimudharatkan oleh orang lain yang tidak dikenalnya, yaitu dibunuh atau dilukai. Di samping bahwa kekayaan raja dunia yang sangat terbatas sehingga ia tidak mampu mengabulkan permintaan dari seluruh rakyatnya. Karena itulah maka ia membutuhkan perantara, yaitu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan untuk menyeleksi permintaan yang masuk kepadanya. Adapun Allah, maka siapakah yang mampu memudharatkan Allah? Bukankah Allah itu maha kaya dan dengan mudah mampu memenuhi permintaan setiap hamba-Nya?

Disebutkan dalam hadits qudsi, bahwa Allah berkata,

Continue reading

Istri Cantik, Perlukah?

“Wanita cantik memang relatif, tapi kalau jelek itu mutlak!” Demikianlah bunyi sebuah joke klise yang tidak tepat alias ngawur. Lho, kok ngawur? Ya, sebab pada dasarnya segala yang Allah ciptakan itu bagus dan indah. Allah berfirman:

الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ

“Dialah yang membaguskan segala sesuatu yang Dia ciptakan.” (QS. As-Sajdah [32]: 7)

Nabi ` bersabda:

كُلُّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ

“Segala ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla itu indah.” [Riwayat Ahmad dan ath-Thabrāni, serta dinyatakan valid oleh Syaikh al-Albāni]

Hanya saja, keindahan fisik yang Allah berikan kepada masing-masing individu itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Keanekaragaman dan tingkatan itulah yang kemudian didefinisikan sebagai jelek, cantik atau tampan. Tipe dan model yang begini disebut sebagai cantik, dan model yang begitu disebut jelek. Pada dasarnya, yang demikian itu hanyalah diversifikasi dan pembedaan bentuk. Bayangkan sekiranya seluruh manusia itu memiliki wajah dan postur yang sama. Repot kan?

Adalah fithrah manusia untuk menyukai segala hal yang indah. Karena itu, merupakan hal yang lumrah apabila seorang lelaki mencari wanita yang menurutnya indah atau cantik. Terkadang kita jumpai sikap berlebihan (ghuluww atau ifrāth) di kalangan sebagian aktivis, bahwa seolah-olah menjadikan kecantikan sebagai salah satu parameter dalam memilih pasangan hidup merupakan ‘dosa’ atau perbuatan tercela. Sebagian mereka juga ‘pasrah’ begitu saja apabila dijodohkan oleh pembimbing agama mereka (murabbi). Sikap semacam ini tentu saja bukan merupakan sikap yang tepat atau harus dilakukan. Sayangnya, ini masih cukup sering terjadi.

Continue reading

Permasalahan Seputar Zakat Fithri

Kekeliruan Umum (Khatha’ Syā’i“) dalam Penerjemahan Zakātul Fithr

Di Indonesia, pada umumnya Zakātul Fithr diterjemahkan dengan “Zakat Fithrah”. Hal ini sebenarnya kurang tepat, namun inilah yang terlanjur tersebar di Indonesia. Mungkin hal tersebut dibangun atas anggapan masyarakat bahwa makna `Īdul Fithri adalah kembali kepada kesucian (fithrah). Padahal, anggapan ini kurang tepat. Makna `Īdul Fithri yang lebih tepat adalah kembali berbuka, setelah sebulan lamanya diwajibkan berpuasa. Sehingga terjemahan yang lebih tepat untuk Zakātul Fithr adalah Zakat Fithri, seperti halnya `Īdul Fithri, mengikuti bahasa aslinya. WaLlāhu a’lam.

Pengertian dan Kewajiban Zakat Fithri

Zakātul fithr adalah zakat yang diwajibkan karena berbuka dari bulan Ramadhān. Zakat ini wajib atas tiap-tiap individu muslim: kecil, besar, laki-laki, wanita, merdeka, maupun budak.

Continue reading

‘Polemik’ Lailatul Qadr (Diperbarui)

Di bulan Ramadhan nan mulia ini terdapat satu malam yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin, yaitu Lailatul Qadar. Melalui tulisan berikut, kami akan menurunkan pembahasan singkat terkait Lailatul Qadr tersebut. Semoga ada manfaat yang dapat dipetik.

Keutamaan Malam Lailatul Qadr dan Kemuliaan Ilmu

Allah Ta’āla berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿۳ تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’ān) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadr itu? Lailatul Qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [QS. Al-Qadr: 1 – 5]

Cukuplah sebagai keagungan dan kemuliaan Lailatul Qadr bahwa Allah menyebutkan pada malam tersebut al-Qur’ān diturunkan dan malam itu lebih baik dibandingkan seribu bulan.

Coba perhatikan ayat pertama dari surat di atas, lafal kata “al-Qur’ān” tidak disebutkan secara eksplisit dalam ayat, dan sebagai gantinya hanya disebutkan dhamīr (kata ganti) yang menunjukkannya. Pengungkapan (ta’bīr) yang demikian adalah untuk menunjukkan kedekatan, kemuliaan dan ketinggian al-Qur`ān, dan seolah-olah al-Qur`ān tersebut senantiasa hadir dan terpateri di sisi setiap orang, sehingga kekuatan penggunaan kata ganti tersebut setara penyebutannya secara eksplisit, akan tetapi lebih indah dari sisi makna tersirat. WaLlāhu a’lam.

Continue reading