Pada tahun 440 H, terjadi perdebatan antara Abū Muhammad `Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm Azh-Zhāhiri dan Abū’l Walīd Sulaimān Ibn Khalaf Al-Bāji Al-Māliki. Keduanya merupakan pembesar ulama pada masanya yang mewakili dua kutub pemikiran (madzhab) yang berbeda. Yang satu dari madzhab Zhāhiri, sementara yang lain dari madzhab Maliki. Seusai diskusi, Al-Bāji berkata kepada Ibn Hazm, “Kuharap Anda memberi udzur kepadaku, sebab mayoritas penelaahanku adalah bersama lentera para penjaga keamanan jalan.” Ibn Hazm menjawab, “Kuharap Anda juga memberi udzur kepadaku, sebab mayoritas penelaahanku adalah di atas mimbar (dalam lafal lain: lentera) yang terbuat dari emas dan perak.” Maksud Ibn Hazm, kekayaan itu lebih melenakan seseorang dari menuntut ilmu dibandingkan kemiskinan. [Lihat Mu`jam Al-Udabā’, Yāqūt Al-Hamawi, vol. III, hal. 548.]
Disebutkan pula bahwa Al-Bāji berkata kepada Ibn Hazm, “Tekad (himmah) yang kumiliki untuk menuntut ilmu lebih besar darimu. Sebab engkau menuntut ilmu dalam kondisi tertolong oleh fasilitas. Engkau bergadang bersama lentera emas, sementara aku bergadang bersama lilin murahan.” Ibn Hazm menjawab, “Ucapan ini justru menjadi hujjah yang melemahkanmu dan bukanlah menguatkanmu. Sebab, engkau menuntut ilmu dalam kondisi demikian karena engkau mengharapkan mendapatkan gantinya berupa semisal kondisiku. Sedangkan aku menuntut dalam kondisi sebagaimana yang telah engkau ketahui dan sebutkan, maka aku tidak mengharap kecuali ketinggian kedudukan ilmu di dunia dan akhirat.” Al-Bāji pun terdiam seribu bahasa. Semoga Allah merahmati keduanya. [Lihat Nafhu’th Thīb, Ahmad Ibn Muhammad Al-Muqrī At-Tilmisāni, vol. II, hal. 77.]