Tulisan ini merupakan lanjutan dan penjelasan atas tulisan saya sebelumnya, yang sempat diangkat dan diperbincangkan pada sebagian situs/forum dunia maya. Tulisan semacam ini merupakan realisasi niatan saya untuk melakukan kritik konstruktif (naqd bannā’) terhadap sebagian pihak yang mengaku Salafi atau mengaku mengikuti manhaj (metodologi) Salaf. Tentu bukan manhaj Salaf yang tengah saya kritik, namun tindakan sebagian pengaku Salafi itulah yang saya kritik. Saya harap dua hal ini dapat dibedakan dengan baik, dan keduanya totally different.
Mungkin timbul pertanyaan, khususnya di kalangan SaIafi, bukankah masih banyak kelompok/individu yang jauh lebih menyimpang sehingga lebih perlu dikritik? Dan sejauh mana urgensi kritik semacam ini?
Memang benar bahwa banyak kelompok lain yang jauh lebih menyimpang dan perlu diluruskan. Namun, kritik ini penting dilakukan mengingat pihak yang melakukannya boleh dibilang belum memadai.
Mengenai skala prioritas dan adanya kelompok lain yang jauh lebih menyimpang, maka kurang tepat kiranya untuk dijadikan argumen dalam menafikan kritik dimaksud. Sebab, adanya perkara yang lebih penting tidaklah menafikan perkara yang penting. Bahkan, perkara penting merupakan komplemen, penyempurna dan penyusun perkara yang lebih penting. Di samping itu, mungkin dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun perkara yang lebih penting melainkan ada perkara yang lebih penting lagi. Bahkan untuk syahadat sekalipun, bisa dikatakan bahwa lā ilāha illa’Llāh lebih penting dibandingkan muhammadu’rrasūlu’Llāh. [Lihat Kaifa Tuhakkim Nafsaka…, karya Syaikh Husain al-`Awāyisyah.]
Penentuan skala prioritas juga berbeda-beda, tergantung waktu, tempat dan kondisi, termasuk sudut pandang (point of view) dan kemampuan subjek melihat permasalahan. Pada kenyataannya, didapati sebagian komunitas SaIafi yang lebih concern mengkritik jamaah lain, bahkan sesama pengaku Salafi, yang secara umum boleh dibilang sama-sama menginginkan tegaknya syariah Islam, dibandingkan mengkritik atau menyanggah pihak yang secara blak-blakan menolak syariah, semisal JIL (Jaringan Islam Liberal) dan antek-anteknya yang kini tengah menancapkan kukunya di berbagai perguruan tinggi serta perkantoran.
Kritik konstruktif terhadap orang-orang yang berafiliasi kepada salafiyyah atau Ahlu’s Sunnah sebenarnya pun telah dilakukan oleh sejumlah ulama, ustadz dan dai, baik secara tegas dan jelas, maupun secara halus dan samar. Di antaranya adalah Syaikh ‘Abdu’l Muhsin al-`Abbād dengan risalah singkat beliau yang monumental, Rifqan Ahla’s Sunnah bi Ahli’s Sunnah; Ustadz Firanda melalui buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan; Ustadz Abū Salmā melalui sejumlah tulisan yang dipublikasikan melalui blog-nya, www.abusalma.wordpress.com, dan lain-lain. Semoga di lain waktu, jika Allah memberi kemudahan, in syā-a’Llāh akan saya kutipkan ucapan ulama seputar permasalahan ini. Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyejajarkan diri saya dengan mereka yang tersebut di atas, apalagi ulama. Saya hanya ingin menegaskan bahwa saya bukanlah orang baru apalagi bersendirian dalam hal ini. Meskipun mungkin metode, model dan cara penyampaian kritik konstruktif tersebut menggunakan bentuk yang berbeda-beda, dan mungkin bisa dibilang saya memiliki style tersendiri dalam hal ini.
Jika dikristalisasi, kritik konstruktif tersebut mungkin bisa dibilang berkisar pada dua isu utama: ādāb al-khilāf (etika dalam berbeda pendapat) dan mu`āmalatu’l mukhālif (menyikapi pihak yang berseberangan pendapat). Isu pertama terkait dengan eksistensi perbedaan itu sendiri dan lebih ke arah konsep normatif, sedangkan isu kedua terkait dengan pelaku perbedaan dan lebih ke arah konsep aplikatif. Kedua isu tersebut berhubungan sangat erat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.
Kesalahan dalam memahami dan mengimplementasikan kedua hal tersebut dari sebagian pengaku manhaj Salaf inilah yang menjadi sumber utama terjadinya perpecahan internal di kalangan mereka, sekaligus melekatkan bad image atau stigma negatif bagi dakwah salafiyyah secara umum.
Di samping kritik konstruktif yang dilakukan oleh kalangan internal, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula kritik serupa dari kalangan eksternal yang tidak menyatakan afiliasinya kepada manhaj Salaf, atau bahkan sangat resisten dan antipati terhadap dakwah salafiyyah. Jika kritikan itu benar adanya, maka seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Bahkan seorang Muslim wajib mengambil kebenaran dari manapun datangnya, sekalipun dari musuh. Hal ini pernah saya bahas secara lebih detil pada tulisan sebelumnya. Inilah bagian dari keadilan yang diperintahkan oleh Allāh `Azza wa Jalla melalui firman-Nya:
Continue reading →