Kedermawanan dalam Menjawab dan Menyampaikan Ilmu

Al-‘Allamah Ibn al-Qayyim —rahimahullah— menyebutkan bahwa di antara bentuk kedermawanan adalah dengan memberikan ilmu. Lalu beliau menjelaskan,

ومن الجود بالعلم أن السائل إذا سألك عن مسألة استقصيت له جوابها جوابا شافيا لا يكون جوابك له بقدر ما تدفع به الضرورة كما كان بعضهم يكتب في جواب الفتيا نعم أو لا مقتصرا عليها

ولقد شاهدت من شيخ الإسلام ابن تيمية قدس الله روحه في ذلك أمرا عجيبا كان إذا سئل عن مسألة حكمية ذكر في جوابها مذاهب الأئمة الأربعة إذا قدر ومأخذ الخلاف وترجيح القول الراجح وذكر متعلقات المسألة التي ربما تكون أنفع للسائل من مسألته فيكون فرحه بتلك المتعلقات واللوازم أعظم من فرحه بمسألته وهذه فتاويه رحمه الله بين الناس فمن أحب الوقوف عليها رأى ذلك

“Termasuk dalam hal kedermawanan dalam hal keilmuan: jika seseorang bertanya kepadamu tentang suatu masalah maka engkau memberikan jawaban secara komplit dan komprehensif. Bukan dengan menjawab sekadarnya untuk menggugurkan pertanyaan, seperti halnya ada sebagian orang yang menjawab fatwa dengan (satu kata) ‘Iya.’”

Continue reading

Bahaya Memvonis Orang Lain dengan Kekufuran atau Ahli Bid`ah (Khuthurah at- Takfir wa at-Tabdi`)

Tulisan singkat ini dilatarbelakangi oleh adanya orang-orang yang sangat mudah menjatuhkan vonis sesat atau menilai pihak lain di luar komunitasnya dan/atau yang berseberangan pendapat dengannya sebagai ahli bid`ah, baik secara tegas, maupun dengan menggunakan julukan yang samar, semisal: “Hizbi” dan lain-lain, tanpa menyadari betapa berat dan bahayanya vonis semacam ini. Dan, yang paling berat adalah memvonis kafir pihak lain.

Memang benar bahwa terdapat banyak nash dan atsar Salaf yang mencela bid`ah dan ahli bid`ah. Namun hal ini bukan menjadi pembenaran untuk kemudian bermudah-mudah dan serampangan dalam menjatuhkan vonis bid`ah serta menuduh pihak lain sebagai ahli bid`ah, terlebih lagi untuk menjatuhkan vonis kafir.

Menjatuhkan vonis kafir atau sesat atau ahli bid`ah kepada seseorang berarti melecehkan hal keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan pelecehan dalam hal agama merupakan pelecehan yang paling berat. Sebab seorang Mukmin lebih benci apabila keberagamaannya dilecehkan dibandingkan pelecehan terhadap hal-hal yang lain.

Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

بِحَسبِ امْرِئٍ مِن الشَّرّ أن يَحْقِر أخاه الْمُسْلم، كلّ المُسْلم عَلَى الْمسلم حَرَام دَمُه وَمَاله وَعرْضه

Cukuplah menjadi keburukan bagi seseorang untuk merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram, yaitu darahnya, hartanya dan kehormatannya.” [Riwayat Muslim dan lain-lain]

Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—berkata,

إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ

Sesungguhnya termasuk riba yang paling riba adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang Muslim tanpa hak (alasan yang dibenarkan).” [Riwayat Abū Dāwūd II/685/4876 dan dinilai valid oleh al-Albāni.]

Muhammad Syams al-Haqq al-`Azhīm Ābadī berkata, “Makna arba’r ribā adalah riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras keharamannya. Dan makna istithālah adalah mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim. Maksudnya adalah merendahkannya dan merasa lebih tinggi darinya serta melakukan gunjingan (ghībah) terhadapnya, seperti menunduhnya berzina atau mencelanya. Hal Ini merupakan riba yang paling keras keharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih dari harta.” [`Aun al-Ma`būd vol. XIII, hlm. 152.]

Dan yang lebih parah dari semua itu adalah pelecehan kehormatan terhadap seorang Muslim dalam hal agamanya. Imam al-Qurthubi berkata,

العلماء من أول الدهر من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم والتابعين بعدهم لم تكن الغيبة عندهم في شيء أعظم من الغيبة في الدين لأن عيب الدين أعظم العيب فكل مؤمن يكره أن يذكر في دينه أشد مما يكره في بدنه

“Ulama sejak awal masa para Sahabat Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—dan Tabi’īn setelah mereka menganggap bahwa tidak ada gunjingan yang lebih parah dibandingkan gunjingan yang berkaitan dengan agama (seseorang). Sebab aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib terberat. Setiap orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada disinggung (cacat) tubuhnya.” [Tafsīr al-Qurthubi, vol. XVI, hlm. 282, tafsir QS. Al-Hujurāt [49]: 12.]

Bahaya lain yang tak kalah dahsyatnya dari melecehkan atau memvonis orang lain adalah bahwa vonis tersebut akan kembali kepada pengucapnya apabila pihak yang divonis ternyata tidak sebagaimana yang dikatakan.

Dari Abū Hurairah, Nabi—shalla’Llāhu `alaihi wa sallam—bersabda,

Continue reading

Beda Pendapat atau Pendapatan?

Di kantor, kadang sebagian rekan berkelakar, “Pendapat saya sih sedari dulu sudah sama dengan pimpinan perusahaan, hanya pendapatan saja yang masih beda!” Saya kemudian jadi ingat sebuah rumor yang berhembus di kalangan sejumlah penggiat dakwah, bahwa perselisihan—atau katakanlah: perpecahan—di kalangan para pengaku Salafi adalah lebih dikarenakan “beda pendapatan” dibandingkan “beda pendapat”. Rumor tersebut memang tidak dapat dibuktikan sebagai kebenaran, namun juga tidak dapat seratus persen dipastikan salah.

Kenyataannya, salah satu penyebab perpecahan internal dimaksud adalah adanya beda pendapat dalam hal muamalah—atau lebih spesifik: pengambilan dana—kepada beberapa yayasan tertentu, sebut saja semisal Ihyā’ at-Turāts. Sebagian besar pihak yang “mengharamkan” pengambilan dana tersebut lalu meng-hajr (memboikot) dan men-tahdzīr (memberi peringatan keras) pihak yang membolehkan. Tidak hanya sebatas itu, bahkan orang-orang yang berhubungan dengan pihak yang membolehkan itu pun juga turut merasakan hajr dan tahdzir.

Saya juga lalu jadi ingat pidato kenegaraan perdana `Umar ibn `Abd al-`Azīz ketika didapuk sebagai pucuk pimpinan tertinggi kaum Muslim (amīr al-mu’minīn) pada zamannya, sebagaimana direkam oleh Ibn al-Jauzi dalam salah satu kitabnya, Shifah ash-Shafwah.

`Umar ibn `Abd al-`Azīz berkata,

أوصيكم بتقوى الله فإن تقوى الله خلف من كل شيء ليس من تقوى الله عز وجل خلف فاعملوا لآخرتكم فإنه من عمل لآخرته كفاه الله تبارك وتعالى أمر دنياه وأصلحوا سرائركم يصلح الله الكريم علانيتكم وأكثروا ذكر الموت وأحسنوا الاستعداد قبل أن ينزل بكم فإنه هادم اللذات….

وإن هذه الأمة لم تختلف في ربها عز وجل ولا في نبيها ولا في كتابها إنما اختلفوا في الدينار والدرهم….

يا أيها الناس من أطاع الله فقد وجبت طاعته ومن عصى الله فلا طاعة له أطيعوني ما أطعت الله فإذا عصيت الله فلا طاعة لي عليكم.

“Aku wasiatkan kalian untuk bertaqwa kepada Allāh. Karena sesungguhnya taqwa kepad Allāh merupakan pengganti segala sesuatu, sedangkan tidak ada pengganti dari taqwa kepada Allāh—`Azza wa Jalla. Beramallah untuk akhirat kalian. Karena sesungguhnya siapa saja yang beramal untuk akhiratnya niscaya Allāh—Tabaraka wa Ta`ālā—mencukupinya dalam hal perkara dunianya. Perbaikilah apa-apa yang tersembunyi dari kalian, niscaya Allāh yang Maha Mulia akan memperbaiki apa-apa yang tampak dari kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan perbaguslah persiapan sebelum kedatangannya, karena sesungguhnya kematian itu adalah pemusnah segala kelezatan….

Sesungguhnya umat ini tidak berselisih tentang Rabbnya—`Azza wa Jalla—dan tidak pula tentang Nabinya, serta tidak pula tentang kitab (suci)nya. Hanyalah mereka berselisih dalam hal dinar dan dirham….

“Hai sekalian manusia, barangsiapa yang taat kepada Allāh maka wajiblah mentaatinya, dan barangsiapa yang memaksiati Allāh maka tidak ada ketaatan baginya. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allāh, dan jika aku memaksiati-Nya, maka tidak ada ketaatan atas kalian kepadaku.” [Shifah ash-Shafwah, vol. II, hlm. 114-115.]

Continue reading

Revitalisasi Pemaknaan Salafiyyah Sebagai Metodologi dan Bukan Penamaan Belaka (Sebuah Tanggapan; Bag. 1)

Tulisan ini merupakan lanjutan dan penjelasan atas tulisan saya sebelumnya, yang sempat diangkat dan diperbincangkan pada sebagian situs/forum dunia maya. Tulisan semacam ini merupakan realisasi niatan saya untuk melakukan kritik konstruktif (naqd bannā’) terhadap sebagian pihak yang mengaku Salafi atau mengaku mengikuti manhaj (metodologi) Salaf. Tentu bukan manhaj Salaf yang tengah saya kritik, namun tindakan sebagian pengaku Salafi itulah yang saya kritik. Saya harap dua hal ini dapat dibedakan dengan baik, dan keduanya totally different.

Mungkin timbul pertanyaan, khususnya di kalangan SaIafi, bukankah masih banyak kelompok/individu yang jauh lebih menyimpang sehingga lebih perlu dikritik? Dan sejauh mana urgensi kritik semacam ini?

Memang benar bahwa banyak kelompok lain yang jauh lebih menyimpang dan perlu diluruskan. Namun, kritik ini penting dilakukan mengingat pihak yang melakukannya boleh dibilang belum memadai.

Mengenai skala prioritas dan adanya kelompok lain yang jauh lebih menyimpang, maka kurang tepat kiranya untuk dijadikan argumen dalam menafikan kritik dimaksud. Sebab, adanya perkara yang lebih penting tidaklah menafikan perkara yang penting. Bahkan, perkara penting merupakan komplemen, penyempurna dan penyusun perkara yang lebih penting. Di samping itu, mungkin dapat dikatakan bahwa tidak ada satu pun perkara yang lebih penting melainkan ada perkara yang lebih penting lagi. Bahkan untuk syahadat sekalipun, bisa dikatakan bahwa lā ilāha illa’Llāh lebih penting dibandingkan muhammadu’rrasūlu’Llāh. [Lihat Kaifa Tuhakkim Nafsaka…, karya Syaikh Husain al-`Awāyisyah.]

Penentuan skala prioritas juga berbeda-beda, tergantung waktu, tempat dan kondisi, termasuk sudut pandang (point of view) dan kemampuan subjek melihat permasalahan. Pada kenyataannya, didapati sebagian komunitas SaIafi yang lebih concern mengkritik jamaah lain, bahkan sesama pengaku Salafi, yang secara umum boleh dibilang sama-sama menginginkan tegaknya syariah Islam, dibandingkan mengkritik atau menyanggah pihak yang secara blak-blakan menolak syariah, semisal JIL (Jaringan Islam Liberal) dan antek-anteknya yang kini tengah menancapkan kukunya di berbagai perguruan tinggi serta perkantoran.

Kritik konstruktif terhadap orang-orang yang berafiliasi kepada salafiyyah atau Ahlu’s Sunnah sebenarnya pun telah dilakukan oleh sejumlah ulama, ustadz dan dai, baik secara tegas dan jelas, maupun secara halus dan samar. Di antaranya adalah Syaikh ‘Abdu’l Muhsin al-`Abbād dengan risalah singkat beliau yang monumental, Rifqan Ahla’s Sunnah bi Ahli’s Sunnah; Ustadz Firanda melalui buku Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan; Ustadz Abū Salmā melalui sejumlah tulisan yang dipublikasikan melalui blog-nya, www.abusalma.wordpress.com, dan lain-lain. Semoga di lain waktu, jika Allah memberi kemudahan, in syā-a’Llāh akan saya kutipkan ucapan ulama seputar permasalahan ini. Tentu saja saya sama sekali tidak bermaksud untuk menyejajarkan diri saya dengan mereka yang tersebut di atas, apalagi ulama. Saya hanya ingin menegaskan bahwa saya bukanlah orang baru apalagi bersendirian dalam hal ini. Meskipun mungkin metode, model dan cara penyampaian kritik konstruktif tersebut menggunakan bentuk yang berbeda-beda, dan mungkin bisa dibilang saya memiliki style tersendiri dalam hal ini.

Jika dikristalisasi, kritik konstruktif tersebut mungkin bisa dibilang berkisar pada dua isu utama: ādāb al-khilāf (etika dalam berbeda pendapat) dan mu`āmalatu’l mukhālif (menyikapi pihak yang berseberangan pendapat). Isu pertama terkait dengan eksistensi perbedaan itu sendiri dan lebih ke arah konsep normatif, sedangkan isu kedua terkait dengan pelaku perbedaan dan lebih ke arah konsep aplikatif. Kedua isu tersebut berhubungan sangat erat satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan.

Kesalahan dalam memahami dan mengimplementasikan kedua hal tersebut dari sebagian pengaku manhaj Salaf inilah yang menjadi sumber utama terjadinya perpecahan internal di kalangan mereka, sekaligus melekatkan bad image atau stigma negatif bagi dakwah salafiyyah secara umum.

Di samping kritik konstruktif yang dilakukan oleh kalangan internal, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pula kritik serupa dari kalangan eksternal yang tidak menyatakan afiliasinya kepada manhaj Salaf, atau bahkan sangat resisten dan antipati terhadap dakwah salafiyyah. Jika kritikan itu benar adanya, maka seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Bahkan seorang Muslim wajib mengambil kebenaran dari manapun datangnya, sekalipun dari musuh. Hal ini pernah saya bahas secara lebih detil pada tulisan sebelumnya. Inilah bagian dari keadilan yang diperintahkan oleh Allāh `Azza wa Jalla melalui firman-Nya:

Continue reading

Ustadz Salafi?

Ada sebagian rekan yang dalam beberapa kesempatan menyebut saya sebagai “Ustadz Salafi“. Penyebutan ini sejatinya menimbulkan persoalan yang cukup dilematis, sehingga saya merasa kurang nyaman dengan penyebutan tersebut. Hal ini tentu bukan karena saya menolak prinsip: “memahami al-Qur’ān dan Sunnah dengan tidak menyimpang dari metodologi (manhaj) Salaf yang shalih”. Bahkan, saya sangat meyakini kebenaran prinsip yang dibangun di atas dalil-dalil yang sangat banyak jumlahnya tersebut (yang rasanya tidak perlu saya sebutkan di sini, karena sudah diketahui bersama).

Secara terminologis, siapapun yang menjalankan prinsip di atas, yakni: siapapun yang ber-Islam dengan tidak menyimpang dari konsensus (ijmā`) dan metodologi (manhaj) Salaf maka ia adalah Salafi. Pada perspektif terminologis ini, maka saya berharap dan berusaha termasuk ke dalam jajaran Salafi. Bahkan, tidak ada pilihan lain bagi siapapun—tanpa terkecuali—untuk menjadi seorang Muslim yang benar kecuali dengan menjadi Salafi. Demikianlah sekiranya mengacu pada definisi terminologis Salafi belaka. Continue reading