Persahabatan sejati merupakan sesuatu yang sangat langka di era materialisme ini. Mencari seorang sahabat sejati yang setia dan dapat dipercaya mungkin jauh lebih sulit dibandingkan mencari jarum dalam tumpukan jerami. “Tidak ada persahabatan dan permusuhan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi”, demikianlah slogan yang pada awalnya dikumandangkan oleh para politikus opurtunis namun kemudian merembet kepada berbagai macam lapisan masyarakat dalam setiap lini kehidupan.
Mengingat demikian langkanya persahabatan sejati, maka seorang penyair berkata,
سَمِعْنَا بِالصَّدِيْقِ وَلاَ نَرَاهُ عَلَى التَّحْقِيْقِ يُوْجَدُ فِيْ الأَنَامِ
وَأَحْسَــبُهُ مـــُحَالاً نَـمَقُوْهُ عَلَى وَجْهِ الْمَجَازِ مِنَ الْكَلاَمِ
Kami dengar tentang sahabat sejati tapi kami tidak melihatnya
terwujudkan secara nyata di antara manusia.
Kusangka itu adalah suatu kemustahilan yang mereka tuliskan
hanya sekedar dalam bentuk ucapan kiasan
[Al-Mustathraf fī Kull Fann Mustazhraf, vol. I, hal. 272]
Ibn ‘Aun berkata: Dari ‘Umair Ibn Ishāq, beliau berkata: “Kami menganggap bahwa yang pertama kali diangkat dari manusia adalah persahabatan.” [Tafsīr Ibn Katsīr, QS. Al-Anfāl [8]: 63. Lihat pula muqaddimah Ustadz Abū ‘Abdil Muhsin Firanda dalam risalah yang berjudul: Hak-Hak Persaudaraan Islam]
Wahb Ibn Munabbih berkata, “Aku bersahabat dengan manusia selama lima puluh tahun. Tidak aku dapati seseorang yang mengampuni ketergelinciranku, memaafkan kesalahanku dan menutup aibku.” [Al-Mustathraf fī Kull Fann Mustazhraf, vol. I, hal. 272]
‘Ali Ibn Abī Thālib berkata, “Jika pengkhianatan merupakan tabiat, maka kepercayaan terhadap setiap orang merupakan kelemahan.”
Seorang bijak ditanya, “Apa itu sahabat sejati?” Ia menjawab, “Itu adalah nama yang diletakkan bukan pada tempatnya, serta hewan yang tidak ada wujudnya.”
Ja’far ash-Shādiq berkata, “Persedikitlah mengenal manusia, dan ingkarilah siapapun yang kau kenali dari mereka. Jika kau memiliki seratus sahabat, maka buanglah sembilan puluh sembilan, dan berhati-hatilah terhadap satu yang tersisa!”