Menuju Penegakan Hukum Allah (Bag. 3 – Selesai)

Pemahaman Terhadap Tauhid Asmā’ wa Shifāt dan Korelasinya dengan Penegakan Hukum Allah

Sungguh, orang yang meyakini bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, tidak ada yang serupa dengan-Nya… dan seterusnya, merupakan seutama-utama orang yang mengetahui bahwa hukum Dzat Yang Maha Mendengar tidaklah sama dengan hukum siapa saja yang tingkatan pendengarannya masih di bawah pendengaran-Nya, yang tingkatan penglihatannya masih di bawah penglihatan-Nya. Hukum Dzat yang Maha Mengetahui tentu tidak sama dengan hukum siapa saja yang ilmunya masih di bawah ilmu-Nya. Sebagaimana tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dzat, Nama dan Sifat-Nya, maka tidak ada suatu hukum dan syariat pun yang menyamai hukum dan syariat-Nya.

Continue reading

Menuju Penegakan Hukum Allah (Bag. 2)

Berhukum dengan Apa yang Allah Turunkan dalam Tiap Perkara dan Korelasinya dengan Amr Ma’rūf Nahy Munkar

Sesungguhnya nash-nash yang memerintahkan untuk berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah itu sifatnya umum, mencakup seluruh perkara.

Nabi ` bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ. فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلِك أَضْعَفُ الْإِيْمَان

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” [Riwayat Muslim]

Berdasarkan hadits di atas, seorang muslim wajib mengubah setiap kemungkaran yang dilihatnya, sesuai urutan yang sebutkan. Baik kemungkaran tersebut berupa pengharaman yang halal, penghalalan yang haram, tindakan yang salah, maupun bid’ah dalam agama. Dan, tidak ada satu dalil pun yang menggugurkan atau mengecualikan pihak yang menyerukan tegaknya hukum Allah sebagai undang-undang dan manhaj hidup dari kewajiban mengubah kemungkaran-kemungkaran yang baru saja disebutkan.

Continue reading

Menuju Penegakan Hukum Allah (Bag. 1)

Tulisan berikut ini bersumber dari risalah Syaikh Husain al-‘Awāyisyah, yang berjudul: Kaifa Tuhakkim Nafsaka wa Ahlaka wa Man Talī Umurāhum bi Hukmi’Llah (cet. pertama, Dār Ibn Hazm, 1423 H), yang saya terjemahkan secara bebas pada kesempatan kali ini, dengan mengambil hal-hal yang penting, disertai perubahan.

Risalah tersebut sebenarnya sudah lama saya terjemahkan untuk Pustaka Imam Asy-Syafi’i dan baru diterbitkan pada tahun 1427 H/Maret 2006 M dengan judul: Menerapkan Syari’at Islam dalam Diri, Keluarga dan Orang-Orang yang Ada di Dawah Tanggung Jawab Anda, Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah.

Continue reading

‘Nyoblos’ dalam Pemilu?

Saya cantumkan kembali di blog ini opini pribadi saya terkait masalah keikutsertaan dalam pemilu. Meskipun rasanya pembahasan ini sudah expired, namun siapa tahu masih ada gunanya ke depan. Tulisan ini sebelumnya telah dimuat dalam sebuah milis, sebagai jawaban atas sebuah pertanyaan yang muncul, juga telah dimuat dalam blog: www.salafyitb.wordpress.com

Ada sedikit perubahan dan penambahan pada tulisan kali ini dibandingkan yang sebelumnya, namun tidak signifikan. Ke depan, in sya-aLlāh saya memang ada rencana untuk membahas permasalahan ini secara lebih detail dengan menyertakan referensi dan dalil-dalil yang ada. Namun untuk sementara, sebagai bahan renungan dan studi komparatif, rasanya tidak mengapa saya cukupkan diri dengan tulisan berikut:

Sekedar informasi, bahwa selama ini saya belum pernah satu kali pun ikut serta dalam pemilu, seingat saya. Dan, pendapat saya terkait keikutsertaan dalam pemilu kali ini pun masih bersifat tentatif, dapat berubah sekiranya saya mendapatkan argumen lain yang lebih kuat, sebagaimana halnya dulu pun saya tidak berpendapat sebagaimana sekarang ini. Mudah-mudahan ini termasuk ke dalam spirit ucapan ulama: al-‘ilm lā yaqbal al-jumūd (ilmu itu tidak menerima kebekuan).

Sebelum masuk ke dalam pembahasan, saya ingatkan bahwa masalah ini masih debatable di kalangan ulama. Syaikh Ibn ‘Utsaimīn, misalnya, pernah ditanya oleh sebagian saudara-saudara kita dari Indonesia—kalau tidak salah sampai dua kali—apakah kaum muslimin Indonesia ikut serta dalam pemilu atau tidak, dan beliau memfatwakan untuk turut serta dalam pemilu. Namun sebagian ulama lain, semisal Syaikh Muqbil, melarang secara mutlak keikutsertaan dalam pemilu, dengan alasan pemilu dan demokrasi merupakan sistem yang mengandung berbagai macam kebatilan bahkan kekufuran (namun kali ini saya tidak sedang membahas kebatilan sistem demokrasi dan pemilu). Semoga Allah melimpahkan rahmat yang luas kepada seluruh ulama kaum muslimin.

Saya pribadi untuk saat ini cenderung untuk sejalan dengan apa yang difatwakan oleh Syaikh Ibn ’Utsaimīn. Berikut adalah alasannya:

Penting untuk dipahami bahwa keikutsertaan seseorang dalam pemilu tidak melazimkan bahwa yang bersangkutan meyakini demokrasi dan pemilu sebagai sistem yang benar, namun bisa jadi karena pertimbangan maslahat dan mudharat, atau usaha untuk mendapatkan mudharat yang paling ringan (akhaffudh dhararain).

Sekali lagi saya tegaskan bahwa saya pun sependapat dengan kebatilan sistem yang bernama demokrasi. Saya juga sependapat bahwa pada pemilu, yang merupakan produk turunan dari demokrasi, terdapat berbagai macam penyelisihan terhadap syariat. Namun, itulah realita yang kita hidup di dalamnya, suka maupun tidak. Permasalahannya adalah, apakah dengan meninggalkan pemilu tersebut, karena menyelisihi syariat, akan terealisir maslahat yang lebih besar ataukah justru sebaliknya?

Sahabat ‘Umar Ibn al-Khaththāb berkata, “Bukanlah orang yang berakal itu adalah yang dapat mengetahui kebaikan dari keburukan, namun orang yang berakal adalah yang mampu mengetahui yang terbaik dari dua keburukan.” [Lihat misalnya: Raudhatul Muhibbīn, hal. 8]

Imam Ibnul Qayyim berkata, “Poros syariat dan taqdir (madār asy-syar’ wal qadar), dimana kepadanya kembali penciptaan dan perintah (al-khalq wal amr), adalah mengedepankan kemaslahatan yang paling besar, meskipun harus kehilangan maslahat yang lebih rendah daripadanya, serta memasuki kemudharatan yang paling ringan dalam rangka mencegah kemudharatan yang lebih besar.” [Lihat: ad-Dā` wad Dawā` atau al-Jawāb al-Kafī, hal. 108 dan Ahkam Ahl adz-Dzimmah, vol. II, hal. 908]

Bagaimana penjelasan hal tersebut terkait keikutsertaan dalam pemilu?

Continue reading