Kehilangan

Pernahkah kau mengalami kehilangan? Kehilangan sesuatu ternyata begitu menoreh gundah dan duka, padahal sebelumnya keberadaannya tidak mendapat penghargaan yang selayaknya. Hanya sebagian sirna namun seolah terenggut segala. Padahal, bukankah lebih banyak yang tersisa dibanding yang tiada? Setidaknya, kau masih punya jiwa, yang membuat segalanya jadi ada nilainya. Apa gunanya kau mendapat emas tak terhitung banyaknya bila kau kehilangan meski hanya satu nyawa.

Sekiranya kau mencari pelipur lara, maka pandangilah burung-burung yang membelah angkasa raya. Membentang sayap sebagai pertanda merdeka. Melayang, mengendarai angin dengan ringannya. Begitu bahagia. Sebab tak membawa beban apa-apa. Hidupnya untuk hari ini. Makanannya sekedar saat ini. Tidak ada simpanan apalagi tabungan bagi masa depan, karena diartikan sebagai sebentuk kecemasan, yang akan menodai kegembiraan. Continue reading

Aku Ingin Bertanya (Kau Ingin Menjawab?)

Aku ingin bertanya padamu kawan…
Bila malaikat maut telah datang menjelang tanpa persetujuan
Apakah aku tengah dihiasi iman atau keingkaran…?

Aku ingin bertanya lagi hai kawan…
Bila tubuhku telah kaku berselimut tanah dan ditinggalkan
Apakah aku melihat pemandangan kenikmatan atau kepedihan…? Continue reading

Renungan (Muhasabah)

Perenungan menjadi hal mewah di zaman serba instan ini. Cyberspace, jarak yang dilipat dan dunia yang berkejaran kencang, tampaknya menyudutkan perenungan pada kotak waktu yang besarnya hampir ternihilkan.

Renungan beda dengan lamunan. Merenung adalah hal produktif, yaitu menginvestasikan waktu dengan berpikir mendalam (deep thinking) untuk tercapainya perbaikan berkesinambungan (continous improvement) di masa mendatang. Dari renungan, lahirlah breakthrough dan solusi dari berbagai permasalahan. Adapun melamun maka bersifat konsumtif, yaitu membelanjakan dan memboroskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Dalam hadits nabawi, melamun diistilahkan dengan thūlu’l amal (panjang angan-angan).

Islam menganjurkan perenungan. Dalam teks-teks keagamaan didapati anjuran untuk merenungkan dan memikirkan ayat-ayat-Nya, baik qauliyyah, yang tertuang Kitab Suci dan hadits nabawi, maupun kauniyyah, yang terhampar dalam bentangan semesta raya. Bahkan, mungkin dapat dikatakan bahwa salah satu hikmah dianjurkannya bangun malam untuk beribadah (di antaranya shalat Tahajjud) adalah karena waktu tersebut juga merupakan momen yang paling tepat untuk merenung dan berpikir. Hal sebaliknya, terdapat kecaman bagi mereka yang tidak mau merenung dan berpikir.

Dalam dimensi yang lebih sempit, renungan kadang diistilahkan dengan muhāsabah. Secara etimologis, muhāsabah berasal dari huruf h s b yang berasosiasi dengan perhitungan atau memperhitungkan. Jadi, makna muhāsabah kurang lebih adalah membuat perhitungan terhadap diri sendiri atas kondisi dan kekurangan di masa lampau untuk koreksi, peningkatan dan perbaikan di masa mendatang, sebelum datangnya perhitungan hakiki dari Allah pada hari Kiamat. Dalam bahasa Indonesia, muhāsabah sering diterjemahkan dengan introspeksi.

Diriwayatkan bahwa `Umar ibn al-Khaththab r.a. berkata,

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

“Buatlah perhitungan atas diri-diri kalian, sebelum kalian diperhitungkan (oleh Allah).” [Riwayat Ibn Abī Syaibah dalam al-Mushannaf VII/96/34459. Secara sanad, sebagian ahli hadits mencacat validitas riwayat tersebut. Namun tidak diragukan bahwa maknanya benar.] Continue reading

Sedekah: Aset di Dunia Terlebih di Akhirat

Saya beberapa kali diminta untuk mengisi salah satu rubrik dalam Newsletter Priority yang diterbitkan setiap bulan sekali oleh perusahaan tempat saya bekerja. Mengingat blog ini cukup lama tidak di-up date, maka rasanya tidak ada salahnya apabila tulisan saya yang akan di-publish untuk Newsletter Priority edisi September 2008 (tema yang dimintakan ke saya kali ini adalah tentang sedekah) dicantumkan di sini, dan semoga saja ada manfaat yang dapat dipetik, khususnya bagi diri saya pribadi. Berikut adalah tulisan dimaksud:

Sedekah: Aset di Dunia Terlebih di Akhirat

Allah `Azza wa Jalla berfirman:

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّئَةُ حَبَّةٍ وَاللّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Permisalan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Dan Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 261.)

Demikianlah Allah memotivasi para hamba-Nya untuk menafkahkan atau memberikan harta di jalan-Nya, yakni dalam segala hal yang mendatangkan keridhaan-Nya. Firman Allah tersebut mencakup pengeluaran harta yang sifatnya wajib, seperti zakat, maupun yang sifatnya sunnah, seperti infaq dan sedekah sunnah. Satu dibalas tujuh ratus kali lipat.

Dari Abu Hurairah, Nabi s.a.w. bersabda,

مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ

Sedekah itu tidak mengurangi harta.” [Riwayat Muslim dalam Shahīh-nya IV/2001/2588, dan lain-lain.]

Nabi s.a.w. juga bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

Tidak ada satu hari pun yang dilalui oleh seorang hamba melainkan pada pagi harinya dua malaikat turun kepadanya. Salah satunya berkata: ‘Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq.’ Sementara yang lainnya berkata: “Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit.'” [Riwayat al-Bukhari dalam Shahīh-nya II/522/1374 dan Muslim dalam Shahīh-nya II/700/1010.]

Dengan demikian, dalam konsep Islam, pengeluaran harta untuk berbagai macam bentuk kebaikan di jalan-Nya merupakan aset dan investasi yang pasti menguntungkan baik secara materi maupun immateri, tangible maupun intangible, di dunia maupun di akhirat; dan bukan liability atau biaya yang akan mengurangi harta. Justru tindakan menahan harta itulah yang akan menimbulkan kerugian. Kaum Muslim wajib meyakini kebenaran hal tersebut, sebagaimana mereka wajib meyakini kebenaran seluruh janji Allah dan Rasul-Nya. Mungkin dapat dikatakan bahwa pada umumnya kaum Muslim pun telah mengetahui konsep di atas. Hanya saja penyakit krusial dalam hal ini terletak pada kelemahan aqidah, sehingga pengetahuan tersebut hanya menjadi sebatas pengetahuan, tidak membuahkan keyakinan yang akhirnya melahirkan tindakan nyata.

Konsep Islam tersebut mungkin sulit diterima—apalagi diyakini dan terlebih diamalkan—oleh mereka yang teracuni oleh materialisme, mendewakan kebendaan dan berpikir matematis secara short time. Permasalahannya, virus materialisme tersebut terus-menerus menginfeksi dan menjangkiti kaum Muslim seiring derasnya arus budaya syahwat, baik sadar maupun tidak.

Continue reading

Surga Hanyalah Sarana, Bukan The Ultimate Destination (Muntaha’l Ghayah)

Di tahun 2007, saya pernah berdiskusi dengan Direktur Utama (Dirut) salah satu Lembaga Keuangan Syariah (LKS) terbesar di Indonesia. Pada kesempatan itu, Dirut berkata, “Menurut saya, kaum Mukmin itu seyogyanya tidak perlu merindukan Surga sebab Surgalah yang merindukan mereka. Manusia merupakan sebaik-baik penciptaan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allāh (QS. At-Tīn: 80), lebih baik dari Surga sekalipun. Karena itu, tidak selayaknya sebaik-baik penciptaan merindukan sesuatu yang derajat penciptaannya lebih rendah. Yang derajat penciptaannya lebih rendah itulah yang seharusnya merindukan yang derajat penciptaannya lebih tinggi. Walhasil, kaum Mukmin sepantasnya hanyalah merindukan perjumpaan dengan Allāh.” Demikianlah kira-kira yang disampaikan Dirut tersebut. Saya kemudian menimpali, “Taruhlah yang demikian itu benar (padahal kurang tepat), namun bukankah perjumpaan dengan Allāh hanya terjadi apabila kaum Mukmin berada di Surga?” End of that story.

Continue reading