Puisi

Mohon maaf karena komentar Anda tidak diizinkan untuk tampil di sini. Mohon kiranya mengisi komentar di Buku Tamu atau sesuai artikel yang dibaca. Ini adalah halaman yang khusus memuat lintasan pikiran dan perasaan pribadi…

28 thoughts on “Puisi

  1. Cinta…

    Cinta tak pernah membuat kecewa
    sebab sejatinya cinta adalah ketulusan tiada terkira
    Kau sampaikan pengharapanmu untuk berada di sisinya
    tapi kau biarkan ia terbang arungi dunia
    dan kau hanya bisa menunggu kedatangannya
    Cinta adalah kau rela menanggung derita, menahan perihnya air mata,
    untuk bahagianya
    Cinta adalah harapan mulia,
    yang membuatmu tidak pernah berhenti berusaha meraihnya
    meski cinta sendiri tak pernah memaksa…
    Sejatinya cinta adalah lentera, yang mengorbankan dirinya,
    untuk menghapus gulita…
    adalah angin bertiup manja,
    untuk memekarkan kuncup menjadi bunga…
    adalah pedang baja,
    untuk menebas segala angkara…
    Berapa banyak yang mengklaim cinta
    Tapi sebenarnya keinginan memiliki semata…

    Janganlah kau cintainya hanya karena Sang Kuasa
    tapi juga jangan mencintai karena dirinya
    Cintailah ia karena-Nya dan karena ia pantas dicinta…

    (Jakarta, dalam bus kota di jalanan yang macet, nasehat kepada seorang kawan yang sedang patah hati, 1 Maret 2006)

  2. Bila mungkin, jadilah lentera,
    tak mengapa sirna demi cahaya
    jelmakan suka cita
    atau samudra,
    menanggung lara sungai-sungai bermuara
    ‘tuk tenteram dunia

    (Jakarta, 20 Juli 2006)

  3. Masa, zaman, bergulir, berputar, berganti…
    Kadang, terhadap tenteram lampau waktu aku rindui…
    Kurasa terlalu jauh kulangkah pergi
    jelajah bumi…
    Tertanya dalam kabut alpa masihkah jalan kembali…
    Titi rindang jalan Ilahi…
    Masihkah ada bara jiwa ‘tuk bidadari…?

    (Jakarta, 15 Agustus 2006)

  4. Bila dunia menusukmu seribu sembilu
    Jika ramai pijar menyudutmu sunyi jelaga lorong batu
    Masih ada Surga patut dirindu tuk lipur laramu
    Bila kilau permata tak sirna hampa kalbu
    Jika nanyian rayu tak lagi luluhkan galau
    Masih ada taman langit ‘tuk pilihan abadimu

    (cuap malam hari di bis kota nan berdebu)

  5. Apa arti pujangga?
    Bila kata dianggap sastra
    karena ketidakmampuan bicara sewajarnya
    Jika ungkapan dianggap istimewa
    justru karena keganjilan dari yang biasa

    (Jakarta menuju Bekasi, 15 Agustus 2006)

  6. Bila Beda Adalah Murka

    Teruntuk saudara yang saling merobek dunia dengan sengketa
    Mereka yang dirambah murka saat beda-beda kata terjelma
    mengklaim berjalan pada satu-satunya lentera
    tanpa siapapun jua

    Saat rindang kehormatan jadi semak usang terinjak percuma
    Ketika sejuk senyum jelma geram api membuncah angkasa

    Bila saja kau sadari bahwa antara kita tak perlu ada bara
    Sekiranya kau mengerti indah persahabatan dalam cahaya
    Andai saja persaudaraan adalah bak surya sapu gelap dunia
    tanpa minta balas jasa

    Tentu tak perlu kau rentang jauh luka nan cerca antara kita
    Cuma karena beda yang biasa
    Sebab kita sama…

    (revisi dari luap hati dalam bus kota yang merangkak menembus malam yang mulai mengeja sunyi)

  7. Lorong waktu

    Terseretku oleh lorong waktu,
    menemuimu
    Kupaksamu susuri masa lalu
    masuki ruang rindu
    tak terawat, berdebu
    Ada bekas jejakmu jelas di sana
    kau tak melihatnya?
    Ada gambarmu terlipat rapi di bilik jiwa
    kau tak menyadarinya?
    Ada ketika merenda kala dengan tawa
    atau duka
    Ah, ternyata hari terlalu cepat bergegas pergi
    melaju, berlari
    untuk merajut sekaligus mengurai benang memori
    Tapi, lorong waktu tak pernah terkunci
    penghubung aku, kau dan sunyi

    (Menuju Jakarta, berangkat kerja, 30 April 2007)

  8. Kabut merambati puncak ini
    mencoba menyelimuti
    Seperti hati
    dari tanya yang memerlukan tanya
    mengapa?

    (Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 2007)

  9. Ada rasa belum terungkap
    gundah tak tersingkap
    Raut itu…
    Apakah cermin waktu lalu?
    Kau?
    Tidak, sebab tersisa darimu hanya nama
    bukan gambar, bayang atau penanda

    (Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 2007)

  10. Pasti, selalu ‘kan hadir hampa
    bila terjelma jauh dari-Nya
    Antara kau dan dirimu ada jarak tak berhingga
    rentang yang tiada
    kehilangan tak berupa
    kesepian bernyawa dan bersenyawa
    Tak dapat ditolak pun dihindari
    meski pergi sejauh bumi
    Terdapat luka tak terobati
    lubang menganga tak tertutupi
    Walau reguk seluruh manis dunia
    pada ramai bergempita
    Tak pernah ada pilihan bagi kebahagiaan
    selain di sanding Sumber Keindahan

    (Jum`at, 23 November 2007, dalam bis yang meluncur menuju kota bekasi)

  11. Long Road To Heaven

    Waktu berjalan
    terasa begitu lambat, pelan
    seolah panjang kekekalan
    tapi sebenarnya selekas arakan awan
    ada, lalu berpendar dalam ketiadaan
    Jalan ini penuh payah
    berhias darah
    hanya saja bisa lebih manis dari madu
    namun bagi penikmat rindu
    Sedikit sekali yang mencapai
    banyak yang terhenti, terkapar, terkulai
    Bilakah kita sampai…?

    (Di kantor, Jakarta, 28 November 2007)

  12. PUISI MEREKA:

    AKU INGIN

    Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
    dengan kata yang tak sempat diucapkan
    kayu kepada api yang menjadikannya abu

    Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
    dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
    awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

    ~Sapardi Djoko Damono~
    ===========================================

    PADA SUATU HARI NANTI

    pada suatu hari nanti
    jasadku tak akan ada lagi
    tapi dalam bait-bait sajak ini
    kau tak akan kurelakan sendiri

    pada suatu hari nanti
    suaraku tak terdengar lagi
    tapi di antara larik-larik sajak ini
    kau akan tetap kusiasati

    pada suatu hari nanti
    impianku pun tak dikenal lagi
    namun di sela-sela huruf sajak ini
    kau tak akan letih-letihnya kucari

    ~Sapadi Djoko Damono~
    ===========================================
    AKULAH SI TELAGA

    akulah Si Telaga
    berlayarlah di atasnya
    berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
    yang menyerakkan bunga-bunga pantai
    berlayarlah sambil memandang harunya cahaya
    sesampai di seberang sana
    tinggalkan begitu saja perahu
    biar aku yang menjaganya
    ~Sapardi Djoko Damono~
    ===========================================

    HUJAN BULAN JUNI

    tak ada yang lebih tabah
    dari hujan bulan Juni
    dirahasiakannya rintik rindunya
    kepada pohon berbunga itu
    tak ada yang lebih bijak
    dari hujan bulan Juni
    dihapusnya jejak-jejak kakinya
    yang ragu-ragu di jalan itu
    tak ada yang lebih arif
    dari hujan bulan Juni
    dibiarkannya yang tak terucapkan
    diserap akar pohon bunga itu

    ~Sapardi Djoko Damono~

    ===========================================
    DOA

    Tuhanku
    Dalam termangu
    Aku masih menyebut namaMu

    Biar susah sungguh
    mengingat Kau penuh seluruh

    Cahayamu panas suci
    tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

    Tuhanku

    Aku hilang bentuk
    remuk

    Tuhanku

    aku mengembara dinegeri asing

    Tuhanku
    dipintuMu aku mengetuk
    aku tidak bisa berpaling

    November 1943
    ~Chairil Anwar~
    ===========================================

    AKU

    Kalau sampai waktuku
    ku mau tak seorang ‘kan merayu
    Tidak juga kau

    Tak perlu sedu sedan itu

    Aku ini binatang jalang
    dari kumpulannya terbuang

    Biar peluru menembus kulitku
    aku tetap meradang menerajang

    Luka dan bisa kubawa berlari
    berlari
    hingga hilang pedih peri

    dan aku akan lebih tidak peduli
    aku mahu hidup seribu tahun lagi

    March 1943
    ~Chairil Anwar~
    ===========================================

    SEEKOR MERPATI TERLUKA

    seekor merpati terluka
    hinggap di ujung tombak
    tombak pun jadi bunga
    yang mengerami doa-doa

    di langit merah
    membias
    diam yang tak bisa kuterka

    ~D Zawawi Imron~

  13. RELATIVITAS CINTA

    Si Dungu menyangka
    cinta adalah sama
    selamanya
    konstan belaka
    Itu sabda roman picisan dan titahnya
    Si Dungu enggan memahami
    segala di hati berfluktuasi
    datang, pergi
    menurun, mendaki
    tiada, ada
    Iman, benci, murka pun cinta
    Kawan berubah lawan
    sejalan laju zaman
    Kebencian jadi kerinduan
    seiring putaran bulan
    Cinta sama dengan benci
    sisi relativitas ketakstabilan abadi
    Tapi… inilah seni

    Adni, 2008 (saat menunggu pesanan, di warung gado-gado kaki lima pinggir jalan)

  14. LELAKI DAN HUJAN

    Kelam
    tapi belum hitam
    padahal malam belum jua mendatang
    hanya mendung mengerang
    melepas bagian tubuhnya
    bergerombol jatuh satu satu
    memalu batu
    membungakan kelopak seribu
    Lelaki itu
    menantang angkasa
    melontar bara bara
    matanya menikam darah
    marah yang merah
    ke udara ia ledakkan amarah
    memendar delapan arah
    tapi raungnya tertelan
    riuh sinar bentakan
    Ia terlambat menyadari
    murka yang tak berarti
    karena hujan tengah menumbuhkan pelangi…

    Adni, Juni 2008

  15. AKSARA DAN KATA

    Akulah cinta dipanahkan busur jiwa
    Akulah utusan cahaya
    Akulah raja yang bertitah di tahta
    Akulah ular yang liar berbisa
    Akulah jembatan senantiasa di antara
    Akulah harapan yang terlahir dan tersirna

    Akulah pedang tajam tak berkira
    Akulah permohonan tak berhingga
    Akulah wajah-wajah berupa-rupa

    Kugetar udara
    Kucoret lembaran rasa
    Kupekerjakan dunia
    Kugandeng gulita
    Kukobar api membakar suasana
    Kugurat suka
    Kusepuh luka

    Aku terlelap dalam gempita
    Aku terbunuh diam bisu memurka
    Aku adalah aksara terbelenggu dalam kata…

    Adni, Okt 2008 (dalam bis, pulang kerja)

  16. DULU ADA CINTA

    Dulu, di sini ada cinta…
    ternyata ia air sejuknya menguap udara
    atau api hangatnya tak senantiasa menyala
    atau musim semi mengantar datangnya masa kebekuan
    atau jalan berliku terhenti kebuntuan

    Dulu, pernah ada cinta…
    ketika bunga hendak mekarkan kuncupnya
    saat mentari mulai mendaki edarnya

    Dulu, memang ada cinta…
    tapi lalu sirna entah ke mana
    mungkin ruang waktu menyembunyikannya

    18 Okt 2008, dalam bis

  17. HUJAN

    Inilah hujan
    pimpinan dari arakan mendung kehitaman
    rasul kepada kampung kesedihan
    penerbit bagi lembar romantisme murahan

    Dia bingkisan rahmat-Nya
    ia sirami bunga-bunga
    ia undang pelangi berwarna
    Dia kiriman teguran-Nya
    ia seret badai yang meronta

    Air mata langit untuk duka di bumi
    pasukan yang berempati atas segala tragedi
    penyegar sayatan sembilu
    pelubang batu-batu
    namun pasti, itulah penanda jejakmu…

    (Untuk seseorang yang mungkin suatu hari namanya terlupakan, 17 Desember 2008)

  18. Puisi Bangun Tidur

    Saat ini
    yang kuingin hanya satu
    menuliskan kata-kata indah
    untuk diriku
    dan orang-orang yang mencintaiku
    termasuk engkau
    tentu saja

    Sebenarnya bagian ini hanya khusus untuk saya. Pengunjung ‘dilarang’ menulis tulisan di sini. Tapi, buat Kang Muji, dan mengingat puisi yang dituliskan, maka bolehlah diberikan eksepsi. ^_^

  19. CINTA ITU CANDU

    Cinta itu candu,
    memanahmu dengan jitu,
    untuk mencacahmu seperti bambu

    Cinta itu candu,
    mengaliri pembuluh nadimu,
    untuk meracunimu hingga ke ulu

    Cinta itu candu,
    membuatmu terus merindu,
    untuk membincanginya meski bisu

    Cinta itu candu,
    menjadikanmu selalu risau
    untuk menatapinya dalam sendu

    Cinta itu candu,
    merasaimu getar semanis madu,
    untuk melumurimu sepenuh empedu

    Cinta itu candu,
    mengangkuhkanmu seolah kuasai waktu,
    untuk tiba-tiba membuatmu terbujur kaku

    Jakarta, 14 Okt 2010

  20. KENAPA PEDULI?

    Kenapa kau peduli?
    Jika hujan enggan berhenti
    merintik siang ke malam hingga pagi
    pada bulan yang bermandi mentari

    Kenapa kau peduli?
    Jika air mata bukan kau punyai
    menumbuhi benih rahim bumi
    pada lahan usang tak terurusi

    Kenapa kau peduli?
    Jika sebuah cinta layu kemudian mati
    menyampahi kisi-ruang hati
    pada jiwa letih yang tak terkenali

    Sekali lagi,
    Kenapa kau harus peduli?
    Ah, pertanyaanmu itu sulit sekali

    Bagaimana bila begini,
    Mungkinkah kau penyembuh sakti,
    atau justru sejenis bakteri?
    Bilakah saatnya bagimu untuk pergi?
    Entah, aku ingin menyobek sepi

    Jakarta, 14 Oktober 2010

  21. JIKA AKU PERGI

    Jika aku pergi
    jangan panggil aku lagi
    sebab kau tak sendiri
    ada yang temani, kini atau nanti

    Jika aku pergi
    jangan teriaki aku lagi
    ladang kita sudah mati
    tepat saat musim sedang semi

    Jika aku pergi
    jangan tarik aku lagi
    kebersamaan telah usai
    saat malam tergilas matahari

    Jika aku pergi
    jangan tangisi aku lagi
    kisah sedih terkunci rapi di lemari
    ketika hujan berganti pelangi

    Jangan aku pergi
    jangan cereweti aku lagi
    kita sama membunuh harmoni
    hadirku tak bakal menggenapi
    bahkan mungkin tak kau ingini

    Jika aku pergi
    kau, aku, tak perlu merasa terabai lagi

    Jakarta, 15 Okt 2010

  22. MACET

    Macet,
    adalah serih-serpih ketika
    aku dipaksa mengingatmu, kita
    membuka lembar-lembar yang berserakan
    dalam lipatan labirin membingungkan

    Kita kenang melukis durja pada wajah senja
    hingga kau tanya,
    Kenapa sedih hadir di negeri bahagia?
    Hei, bukankah hanya tersebut gembira,
    dari pengorbanan derita?

    Macet,
    adalah saat bermain petak umpet
    kau mencari-cari diri
    diri sendiri yang entah, bersembunyi, atau tersembunyi
    sembunyi di gelap lorong masa yang pekat

    Macet,
    adalah momen kau menihil, menggigil
    dalam peluk semesta yang terlupa

    Jakarta, 26 Okt 2010, memaknai macet kemarin

  23. SOBAT

    Sobat,
    kau pergi begitu cepat
    dengan sejumput murka yang kau lekat
    hidup memang sering undang perih
    merayu duka dengan sedih

    Lebih lagi, tiada hadirmu
    itu sayatan pilu pada sendu
    sebab pedih mencair bila berbagi
    luka mengering saat dicumbui angin semi

    Sobat,
    beban kadang sangat berat
    gerbang mengunci rapat
    kita tak dapat rehat

    Tapi, ini hanya tentang waktu
    tunggu, tunggu
    kesempatan pintu terbaik untuk buka
    hanya, kita percaya?

    Karena, selepas ulat, kupu-kupu mengangkasa,
    semoga…

    Jakarta, 27 Okt 2010

  24. PUISI YANG TERTANYA

    Kau bertanya,
    dalam suatu waktu yang tiada,
    Puisi, apa dan mengapa?
    Jawabku, puisi adalah rasa, yang kau titip pada baris aksara
    untuk diecap oleh jiwa, setelah mengunci logika

    Ia adalah syahdu
    luruh seperti tari butir salju
    di penghujung tahun itu

    Ia adalah duka
    deras seperti hujan yang luka
    menyisakan genangan di mana-mana

    Ia adalah suka
    anak kecil yang berlari gembira
    menyusuri pantai senja kala

    Ia adalah romansa
    penuh warna, namun tak berupa

    Kadang, puisi hanyalah teka-teki perasaan,
    menyembunyi dalam belantara kebingungan

    Jakarta, 2 Desember 2010

  25. PUISIKU

    Puisiku hanyalah beku yang kucairkan,
    bisu yang kubunyikan
    diam yang kuledakkan
    sunyi yang kudentingkan.

    Untuk menyita pandangmu,
    pada satu kerjap detak waktu.

    17 Sep 2011, bus kota Jakarta – Bekasi

  26. HILANG KATA

    Malam menua
    aku hilang kata
    cinta tak beralamat
    aku tersesat

    Tuturmu memesona
    metafora menari di taman jingga
    aku ingin mendahuluimu ke samudera aksara

    17 Sep 2011, bis kota Jakarta – Bekasi

  27. JALAN LENGANG

    Malam jalan lengang
    bis menerjang garang
    harapan aneh tertanya
    bagaimana bisa?
    Hei, ini hari kerja pertama!

    Pagi orang-orang ngebut
    berebut, saling sikut
    rampas jengkal tanah sisa
    digilas roda-roda menggila

    Sore mungkin mereka kalahkan senja
    pulang pukul lima, empat bahkan tiga
    libur itu masih nangkring manis di kepala
    atau, karena gerimis tak rata
    jadi suasana syahdu manja
    juga boleh jadi ada adu bola
    di entah seberang samudera mana

    Ah, aku tak perlu terlalu peduli
    jalan hanya sedang enggan ditemani ramai

    (Bekasi, Senin, 3 Okt 2011)

  28. KAU MAMPU SELAIN WAKTU

    Kau mampu
    menjelma angin mendesau
    semburkan gigil rindu
    merasuk sum-sum tulangku

    Kau bisa
    berubah api menyala
    menebar hangat sepenuh dada

    Tapi tak mungkin bagimu
    meniru jajari waktu
    menempel di tiap jejak sepatu

    (Bis kota Jakarta – Bekasi, 3 Okt 2011)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s