Mohon maaf karena komentar Anda tidak diizinkan untuk tampil di sini. Mohon kiranya mengisi komentar di Buku Tamu atau sesuai artikel yang dibaca. Ini adalah halaman yang khusus memuat lintasan pikiran dan perasaan pribadi…
Mohon maaf karena komentar Anda tidak diizinkan untuk tampil di sini. Mohon kiranya mengisi komentar di Buku Tamu atau sesuai artikel yang dibaca. Ini adalah halaman yang khusus memuat lintasan pikiran dan perasaan pribadi…
Cinta…
Cinta tak pernah membuat kecewa
sebab sejatinya cinta adalah ketulusan tiada terkira
Kau sampaikan pengharapanmu untuk berada di sisinya
tapi kau biarkan ia terbang arungi dunia
dan kau hanya bisa menunggu kedatangannya
Cinta adalah kau rela menanggung derita, menahan perihnya air mata,
untuk bahagianya
Cinta adalah harapan mulia,
yang membuatmu tidak pernah berhenti berusaha meraihnya
meski cinta sendiri tak pernah memaksa…
Sejatinya cinta adalah lentera, yang mengorbankan dirinya,
untuk menghapus gulita…
adalah angin bertiup manja,
untuk memekarkan kuncup menjadi bunga…
adalah pedang baja,
untuk menebas segala angkara…
Berapa banyak yang mengklaim cinta
Tapi sebenarnya keinginan memiliki semata…
Janganlah kau cintainya hanya karena Sang Kuasa
tapi juga jangan mencintai karena dirinya
Cintailah ia karena-Nya dan karena ia pantas dicinta…
(Jakarta, dalam bus kota di jalanan yang macet, nasehat kepada seorang kawan yang sedang patah hati, 1 Maret 2006)
Bila mungkin, jadilah lentera,
tak mengapa sirna demi cahaya
jelmakan suka cita
atau samudra,
menanggung lara sungai-sungai bermuara
‘tuk tenteram dunia
(Jakarta, 20 Juli 2006)
Masa, zaman, bergulir, berputar, berganti…
Kadang, terhadap tenteram lampau waktu aku rindui…
Kurasa terlalu jauh kulangkah pergi
jelajah bumi…
Tertanya dalam kabut alpa masihkah jalan kembali…
Titi rindang jalan Ilahi…
Masihkah ada bara jiwa ‘tuk bidadari…?
(Jakarta, 15 Agustus 2006)
Bila dunia menusukmu seribu sembilu
Jika ramai pijar menyudutmu sunyi jelaga lorong batu
Masih ada Surga patut dirindu tuk lipur laramu
Bila kilau permata tak sirna hampa kalbu
Jika nanyian rayu tak lagi luluhkan galau
Masih ada taman langit ‘tuk pilihan abadimu
(cuap malam hari di bis kota nan berdebu)
Apa arti pujangga?
Bila kata dianggap sastra
karena ketidakmampuan bicara sewajarnya
Jika ungkapan dianggap istimewa
justru karena keganjilan dari yang biasa
(Jakarta menuju Bekasi, 15 Agustus 2006)
Bila Beda Adalah Murka
Teruntuk saudara yang saling merobek dunia dengan sengketa
Mereka yang dirambah murka saat beda-beda kata terjelma
mengklaim berjalan pada satu-satunya lentera
tanpa siapapun jua
Saat rindang kehormatan jadi semak usang terinjak percuma
Ketika sejuk senyum jelma geram api membuncah angkasa
Bila saja kau sadari bahwa antara kita tak perlu ada bara
Sekiranya kau mengerti indah persahabatan dalam cahaya
Andai saja persaudaraan adalah bak surya sapu gelap dunia
tanpa minta balas jasa
Tentu tak perlu kau rentang jauh luka nan cerca antara kita
Cuma karena beda yang biasa
Sebab kita sama…
(revisi dari luap hati dalam bus kota yang merangkak menembus malam yang mulai mengeja sunyi)
Lorong waktu
Terseretku oleh lorong waktu,
menemuimu
Kupaksamu susuri masa lalu
masuki ruang rindu
tak terawat, berdebu
Ada bekas jejakmu jelas di sana
kau tak melihatnya?
Ada gambarmu terlipat rapi di bilik jiwa
kau tak menyadarinya?
Ada ketika merenda kala dengan tawa
atau duka
Ah, ternyata hari terlalu cepat bergegas pergi
melaju, berlari
untuk merajut sekaligus mengurai benang memori
Tapi, lorong waktu tak pernah terkunci
penghubung aku, kau dan sunyi
(Menuju Jakarta, berangkat kerja, 30 April 2007)
Kabut merambati puncak ini
mencoba menyelimuti
Seperti hati
dari tanya yang memerlukan tanya
mengapa?
(Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 2007)
Ada rasa belum terungkap
gundah tak tersingkap
Raut itu…
Apakah cermin waktu lalu?
Kau?
Tidak, sebab tersisa darimu hanya nama
bukan gambar, bayang atau penanda
(Cidahu, Sukabumi, 29 Juni 2007)
Pasti, selalu ‘kan hadir hampa
bila terjelma jauh dari-Nya
Antara kau dan dirimu ada jarak tak berhingga
rentang yang tiada
kehilangan tak berupa
kesepian bernyawa dan bersenyawa
Tak dapat ditolak pun dihindari
meski pergi sejauh bumi
Terdapat luka tak terobati
lubang menganga tak tertutupi
Walau reguk seluruh manis dunia
pada ramai bergempita
Tak pernah ada pilihan bagi kebahagiaan
selain di sanding Sumber Keindahan
(Jum`at, 23 November 2007, dalam bis yang meluncur menuju kota bekasi)
Long Road To Heaven
Waktu berjalan
terasa begitu lambat, pelan
seolah panjang kekekalan
tapi sebenarnya selekas arakan awan
ada, lalu berpendar dalam ketiadaan
Jalan ini penuh payah
berhias darah
hanya saja bisa lebih manis dari madu
namun bagi penikmat rindu
Sedikit sekali yang mencapai
banyak yang terhenti, terkapar, terkulai
Bilakah kita sampai…?
(Di kantor, Jakarta, 28 November 2007)
PUISI MEREKA:
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
~Sapardi Djoko Damono~
===========================================
PADA SUATU HARI NANTI
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
~Sapadi Djoko Damono~
===========================================
AKULAH SI TELAGA
akulah Si Telaga
berlayarlah di atasnya
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menyerakkan bunga-bunga pantai
berlayarlah sambil memandang harunya cahaya
sesampai di seberang sana
tinggalkan begitu saja perahu
biar aku yang menjaganya
~Sapardi Djoko Damono~
===========================================
HUJAN BULAN JUNI
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
~Sapardi Djoko Damono~
===========================================
DOA
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
Cahayamu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara dinegeri asing
Tuhanku
dipintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
November 1943
~Chairil Anwar~
===========================================
AKU
Kalau sampai waktuku
ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
aku tetap meradang menerajang
Luka dan bisa kubawa berlari
berlari
hingga hilang pedih peri
dan aku akan lebih tidak peduli
aku mahu hidup seribu tahun lagi
March 1943
~Chairil Anwar~
===========================================
SEEKOR MERPATI TERLUKA
seekor merpati terluka
hinggap di ujung tombak
tombak pun jadi bunga
yang mengerami doa-doa
di langit merah
membias
diam yang tak bisa kuterka
~D Zawawi Imron~
RELATIVITAS CINTA
Si Dungu menyangka
cinta adalah sama
selamanya
konstan belaka
Itu sabda roman picisan dan titahnya
Si Dungu enggan memahami
segala di hati berfluktuasi
datang, pergi
menurun, mendaki
tiada, ada
Iman, benci, murka pun cinta
Kawan berubah lawan
sejalan laju zaman
Kebencian jadi kerinduan
seiring putaran bulan
Cinta sama dengan benci
sisi relativitas ketakstabilan abadi
Tapi… inilah seni
Adni, 2008 (saat menunggu pesanan, di warung gado-gado kaki lima pinggir jalan)
LELAKI DAN HUJAN
Kelam
tapi belum hitam
padahal malam belum jua mendatang
hanya mendung mengerang
melepas bagian tubuhnya
bergerombol jatuh satu satu
memalu batu
membungakan kelopak seribu
Lelaki itu
menantang angkasa
melontar bara bara
matanya menikam darah
marah yang merah
ke udara ia ledakkan amarah
memendar delapan arah
tapi raungnya tertelan
riuh sinar bentakan
Ia terlambat menyadari
murka yang tak berarti
karena hujan tengah menumbuhkan pelangi…
Adni, Juni 2008
AKSARA DAN KATA
Akulah cinta dipanahkan busur jiwa
Akulah utusan cahaya
Akulah raja yang bertitah di tahta
Akulah ular yang liar berbisa
Akulah jembatan senantiasa di antara
Akulah harapan yang terlahir dan tersirna
Akulah pedang tajam tak berkira
Akulah permohonan tak berhingga
Akulah wajah-wajah berupa-rupa
Kugetar udara
Kucoret lembaran rasa
Kupekerjakan dunia
Kugandeng gulita
Kukobar api membakar suasana
Kugurat suka
Kusepuh luka
Aku terlelap dalam gempita
Aku terbunuh diam bisu memurka
Aku adalah aksara terbelenggu dalam kata…
Adni, Okt 2008 (dalam bis, pulang kerja)
DULU ADA CINTA
Dulu, di sini ada cinta…
ternyata ia air sejuknya menguap udara
atau api hangatnya tak senantiasa menyala
atau musim semi mengantar datangnya masa kebekuan
atau jalan berliku terhenti kebuntuan
Dulu, pernah ada cinta…
ketika bunga hendak mekarkan kuncupnya
saat mentari mulai mendaki edarnya
Dulu, memang ada cinta…
tapi lalu sirna entah ke mana
mungkin ruang waktu menyembunyikannya
18 Okt 2008, dalam bis
HUJAN
Inilah hujan
pimpinan dari arakan mendung kehitaman
rasul kepada kampung kesedihan
penerbit bagi lembar romantisme murahan
Dia bingkisan rahmat-Nya
ia sirami bunga-bunga
ia undang pelangi berwarna
Dia kiriman teguran-Nya
ia seret badai yang meronta
Air mata langit untuk duka di bumi
pasukan yang berempati atas segala tragedi
penyegar sayatan sembilu
pelubang batu-batu
namun pasti, itulah penanda jejakmu…
(Untuk seseorang yang mungkin suatu hari namanya terlupakan, 17 Desember 2008)
Puisi Bangun Tidur
Saat ini
yang kuingin hanya satu
menuliskan kata-kata indah
untuk diriku
dan orang-orang yang mencintaiku
termasuk engkau
tentu saja
CINTA ITU CANDU
Cinta itu candu,
memanahmu dengan jitu,
untuk mencacahmu seperti bambu
Cinta itu candu,
mengaliri pembuluh nadimu,
untuk meracunimu hingga ke ulu
Cinta itu candu,
membuatmu terus merindu,
untuk membincanginya meski bisu
Cinta itu candu,
menjadikanmu selalu risau
untuk menatapinya dalam sendu
Cinta itu candu,
merasaimu getar semanis madu,
untuk melumurimu sepenuh empedu
Cinta itu candu,
mengangkuhkanmu seolah kuasai waktu,
untuk tiba-tiba membuatmu terbujur kaku
Jakarta, 14 Okt 2010
KENAPA PEDULI?
Kenapa kau peduli?
Jika hujan enggan berhenti
merintik siang ke malam hingga pagi
pada bulan yang bermandi mentari
Kenapa kau peduli?
Jika air mata bukan kau punyai
menumbuhi benih rahim bumi
pada lahan usang tak terurusi
Kenapa kau peduli?
Jika sebuah cinta layu kemudian mati
menyampahi kisi-ruang hati
pada jiwa letih yang tak terkenali
Sekali lagi,
Kenapa kau harus peduli?
Ah, pertanyaanmu itu sulit sekali
Bagaimana bila begini,
Mungkinkah kau penyembuh sakti,
atau justru sejenis bakteri?
Bilakah saatnya bagimu untuk pergi?
Entah, aku ingin menyobek sepi
Jakarta, 14 Oktober 2010
JIKA AKU PERGI
Jika aku pergi
jangan panggil aku lagi
sebab kau tak sendiri
ada yang temani, kini atau nanti
Jika aku pergi
jangan teriaki aku lagi
ladang kita sudah mati
tepat saat musim sedang semi
Jika aku pergi
jangan tarik aku lagi
kebersamaan telah usai
saat malam tergilas matahari
Jika aku pergi
jangan tangisi aku lagi
kisah sedih terkunci rapi di lemari
ketika hujan berganti pelangi
Jangan aku pergi
jangan cereweti aku lagi
kita sama membunuh harmoni
hadirku tak bakal menggenapi
bahkan mungkin tak kau ingini
Jika aku pergi
kau, aku, tak perlu merasa terabai lagi
Jakarta, 15 Okt 2010
MACET
Macet,
adalah serih-serpih ketika
aku dipaksa mengingatmu, kita
membuka lembar-lembar yang berserakan
dalam lipatan labirin membingungkan
Kita kenang melukis durja pada wajah senja
hingga kau tanya,
Kenapa sedih hadir di negeri bahagia?
Hei, bukankah hanya tersebut gembira,
dari pengorbanan derita?
Macet,
adalah saat bermain petak umpet
kau mencari-cari diri
diri sendiri yang entah, bersembunyi, atau tersembunyi
sembunyi di gelap lorong masa yang pekat
Macet,
adalah momen kau menihil, menggigil
dalam peluk semesta yang terlupa
Jakarta, 26 Okt 2010, memaknai macet kemarin
SOBAT
Sobat,
kau pergi begitu cepat
dengan sejumput murka yang kau lekat
hidup memang sering undang perih
merayu duka dengan sedih
Lebih lagi, tiada hadirmu
itu sayatan pilu pada sendu
sebab pedih mencair bila berbagi
luka mengering saat dicumbui angin semi
Sobat,
beban kadang sangat berat
gerbang mengunci rapat
kita tak dapat rehat
Tapi, ini hanya tentang waktu
tunggu, tunggu
kesempatan pintu terbaik untuk buka
hanya, kita percaya?
Karena, selepas ulat, kupu-kupu mengangkasa,
semoga…
Jakarta, 27 Okt 2010
PUISI YANG TERTANYA
Kau bertanya,
dalam suatu waktu yang tiada,
Puisi, apa dan mengapa?
Jawabku, puisi adalah rasa, yang kau titip pada baris aksara
untuk diecap oleh jiwa, setelah mengunci logika
Ia adalah syahdu
luruh seperti tari butir salju
di penghujung tahun itu
Ia adalah duka
deras seperti hujan yang luka
menyisakan genangan di mana-mana
Ia adalah suka
anak kecil yang berlari gembira
menyusuri pantai senja kala
Ia adalah romansa
penuh warna, namun tak berupa
Kadang, puisi hanyalah teka-teki perasaan,
menyembunyi dalam belantara kebingungan
Jakarta, 2 Desember 2010
PUISIKU
Puisiku hanyalah beku yang kucairkan,
bisu yang kubunyikan
diam yang kuledakkan
sunyi yang kudentingkan.
Untuk menyita pandangmu,
pada satu kerjap detak waktu.
17 Sep 2011, bus kota Jakarta – Bekasi
HILANG KATA
Malam menua
aku hilang kata
cinta tak beralamat
aku tersesat
Tuturmu memesona
metafora menari di taman jingga
aku ingin mendahuluimu ke samudera aksara
17 Sep 2011, bis kota Jakarta – Bekasi
JALAN LENGANG
Malam jalan lengang
bis menerjang garang
harapan aneh tertanya
bagaimana bisa?
Hei, ini hari kerja pertama!
Pagi orang-orang ngebut
berebut, saling sikut
rampas jengkal tanah sisa
digilas roda-roda menggila
Sore mungkin mereka kalahkan senja
pulang pukul lima, empat bahkan tiga
libur itu masih nangkring manis di kepala
atau, karena gerimis tak rata
jadi suasana syahdu manja
juga boleh jadi ada adu bola
di entah seberang samudera mana
Ah, aku tak perlu terlalu peduli
jalan hanya sedang enggan ditemani ramai
(Bekasi, Senin, 3 Okt 2011)
KAU MAMPU SELAIN WAKTU
Kau mampu
menjelma angin mendesau
semburkan gigil rindu
merasuk sum-sum tulangku
Kau bisa
berubah api menyala
menebar hangat sepenuh dada
Tapi tak mungkin bagimu
meniru jajari waktu
menempel di tiap jejak sepatu
(Bis kota Jakarta – Bekasi, 3 Okt 2011)